Senin, 20 Agustus 2007

13 juta anak kelaparan & 100 juta orang miskin !

Di tengah-tengah banjirnya berita-berita tentang korupsi di negeri kita, yang di antaranya ada yang meliputi jumlah sampai triliunan atau ratusan miliar Rupiah, dan banyaknya kasus penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasaan di kalangan tokoh-tokoh eksekutif, legislatif, judikatif, partai-partai politik, pengusaha-pengusaha besar dll dll, maka ada berita yang bisa membikin banyak orang kaget, atau marah, atau tercengang. Berita ini adalah yang menyatakan bahwa 13 juta anak-anak Indonesia menderita kelaparan karena kekurangan makanan !!!.

Menurut harian Suara Pembaruan tanggal 11 Juli 2007, Badan Dunia yang menangani masalah pangan, World Food Programme (WFP) memperkirakan, anak Indonesia yang menderita kelaparan akibat kekurangan pangan saat ini berjumlah 13 juta orang. Direktur Regional Asia WFP, Anthony Banbury, mengatakan bahwa anak-anak yang kelaparan itu tersebar di berbagai tempat di Tanah Air khususnya di tiga kawasan, yakni perkotaan, daerah konflik, dan daerah rawan bencana.

Ketika membaca berita yang macam ini, sungguh, wajarlah kiranya kalau banyak orang bertanya dengan berang dan teriak keras: “Mengapa bisa terjadi yang begini ini di negeri kita yang dikatakan orang sebagai negeri kaya ?” Dan, juga, sepatutnyalah kalau ada orang-orang yang mengatakan bahwa adanya 13 juta anak-anak Indonesia yang kelaparan itu membikin kita semua bertanya-tanya : apa sajakah yang tidak beres di negara kita? Dan siapa-siapa sajakah yang bersalah dan harus bertanggungjawab?

Kelaparan dan kemiskinan

Banyaknya anak-anak yang kelaparan (mohon diperhatikan: 13 juta anak itu tidak sedikit!) agaknya mengharuskan kita semua untuk peduli atau peka-rasa terhadap keadaan yang menyedihkan bangsa ini. Sebab, anak-anak yang kelaparan itu pada umumnya juga mengalami berbagai macam penderitaaan lainnya lagi yang menyedihkan. Kalau untuk makan saja sudah kekurangan, maka tentu saja, akan lebih sulit lagi untuk mendapatkan lain-lainnya untuk bisa hidup biasa. Anak-anak ini, biasanya kemudian menderita kurang gizi, kurang vitamin, mudah kejangkitan penyakit, sulit sekolah, tidak bisa belajar baik, tidak bisa hidup normal seperti anak-anak lainnya dll dll. Jelaslah bahwa berbagai akibat amat negatif ini merupakan kerugian besar bagi generasi bangsa yang akan datang.


Apalagi, keadaan negara dan bangsa kita yang menyedihkan dengan adanya kelaparan anak-anak yang begitu besar jumlahnya itu diperburuk lagi oleh besarnya jumlah penduduk yang miskin di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2007 sebanyak 37,17 juta jiwa. Bagi kalangan pengamat, data kemiskinan BPS ini bertentangan dengan realitas (Media Indonesia, 4 Juli 2007).


Sedangkan menurut laporan Australia-Indonesia Partnership (Juli 2004) “Lebih dari separuh penduduk Indonesia yang berjumlah 210 juta rawan terhadap kemiskinan. Pada tahun 2002, Bank Dunia memperkirakan 53% penduduk atau sekitar 111 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan standar internasional yaitu US$ 2 per hari. Kemiskinan bukan hanya sekedar masalah pendapatan dan pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari yang tidak memadai. Banyak penduduk miskin dan kurang mampu belum memiliki akses ke pendidikan dasar, pelayanan kesehatan dan gizi yang cukup. Sekitar 25 juta penduduk Indonesia buta huruf. Hampir 50 juta jiwa menderita gangguan kesehatan, sementara jumlah yang sama tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan. Banyak komunitas tidak memiliki infrastruktur dasar yang memadai seperti penyediaan air bersih, sanitasi, transportasi, jalan raya dan listrik. Persepsi bias terhadap perempuan masih berlaku, sementara konflik sosial dan agama serta bencana alam telah menyebabkan jutaan penduduk mengungsi dan terjerumus ke lembah kemiskinan atau sangat rawan akan kemiskinan” (kutipan laporan selesai).


Terburuk dalam 36 tahun terakhir!


Keadaan negara yang sangat buruk dewasa ini juga telah dipaparkan oleh Bomer Pasaribu, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR sebagai berikut : « Kondisi masyarakat Indonesia saat ini merupakan yang terburuk dalam 36 tahun terakhir. Hal itu dilihat dari melonjaknya angka kemiskinan serta meledaknya angka pengangguran, yang bila tak segera diatasi akan menjadi masalah besar bangsa, » katanya dalam makalah yang disampaikan pada Sosialisasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 di Medan, Dia mengatakan, seiring dengan melonjaknya angka kemiskinan, angka pengangguran juga makin meledak. Tahun 2004, pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 9,7 persen, sementara tahun 2005 meningkat menjadi 10,3 persen.

"Akibat parahnya kesulitan ekonomi, pengangguran diperkirakan meningkat menjadi 11,1 persen tahun 2006. Bila ditotal dengan seluruh jenis pengangguran di Indonesia tahun 2006 diperkirakan mencapai 41 persen atau lebih dari 40 juta orang," katanya. (Antara News, 7 Juli 2007)


Dengan melihat angka-angka 13 juta anak-anak kelaparan, dan lebih dari 100 juta orang hidup dengan kurang dari $ 2 sehari, serta sekitar 40 juta orang menganggur, maka jelas bahwa kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini adalah buruk sekali, bahkan yang terburuk dalam 36 tahun terakhir !


Perlu gerakan moral untuk “membrontak”!


Mengingat keadaan yang sangat menyedihkan demikian ini, maka terasa perlu sekali adanya gerakan moral yang dilancarkan oleh sebanyak mungkin kalangan dan golongan untuk menyuarakan -- secara lantang dan sesering mungkin ! -- kemarahan atau protes kita. Gerakan moral yang seyogianya didukung oleh segala macam bentuk kegiatan ini bisa dilakukan oleh partai-partai politik, dan segala macam ormas dan ornop, serta kelompok dan golongan dalam masyarakat luas. Partisipasi aktif kaum buruh, tani, pemuda, mahasiswa, perempuan, kaum miskin kota, amat penting dalam gerakan moral ini.


Juga, dalam gerakan moral ini, para intelektual, seniman, sastrawan, wartawan, penyair, pelukis, artis, perlu didorong untuk “membrontak” dengan berbagai cara dan bentuk terhadap keadaan yang menyedihkan ini. Artikel-artikel ilmiah perlu dibuat, segala macam tulisan perlu dikarang, lagu-lagu perlu digubah, ceramah dan seminar perlu diadakan, segala macam pertemuan perlu diselenggarakan, untuk menyalurkan protes, dan sekaligus membangkitkan semangat perlawanan dan menggugah keberanian untuk mengubah keadaan.


Gerakan moral semacam ini akan bisa merupakan jalan atau cara meningkatkan kesedaran bersama untuk melakukan segala macam perlawanan terhadap kelaparan anak-anak, terhadap kemiskinan yang menimpa begitu banyak penduduk dan terhadap pengangguran yang menganga begitu lebar itu. Seringnya diangkat terus masalah-masalah ini, dalam berbagai bentuk dan cara, oleh sebanyak mungkin kalangan dan golongan juga bisa merupakan “peringatan” bagi para penguasa dan “tokoh-tokoh” di berbagai lembaga pemerintahan dan masyarakat bahwa bangsa dan negara kita sedang menghadapi problem-problem yang cukup dahsyat dan mengerikan.


Gerakan melawan korupsi sebagai partner


Gerakan moral untuk melawan kelaparan anak-anak, kemiskinan, dan pengangguran, yang didukung oleh berbagai macam kelompok dan golongan dalam masyarakat ini bisa menjadi sekutu atau kawan seiring dengan gerakan moral melawan korupsi, yang juga merupakan penyakit parah bangsa kita. Sebab, korupsi juga merupakan bagian dari sebab-sebab berbagai masalah yang diderita rakyat. Oleh karena itu, dalam kedua macam gerakan moral tersebut seyogianya semua fihak berusaha saling membantu, saling mendukung, saling mendorong, dengan menjauhi persaingan yang tidak sehat atau permusuhan yang tidak menguntungkan kepentingan bersama.


Mengingat besarnya dan luasnya berbagai masalah-masalah parah tersebut, maka alangkah baiknya kalau dalam gerakan moral ini tidak banyak dipersoalkan ideologi, atau aliran dan faham politik, atau agama dan keyakinan. Baik golongan Islam, maupun Katolik atau Protestan, baik yang Hindu maupun Buda, atau baik yang nasionalis maupun yang kiri, semuanya perlu didukung atau dibantu kegiatan mereka, asal terbukti tulus, jujur, bersih dan sungguh-sungguh untuk melawan kelaparan, kemiskinan dan pengangguran.


Gerakan moral melawan berbagai ketimpangan sosial yang serius ini, bisa juga merupakan kritik terhadap kebejatan moral – terutama di kalangan elite dan “tokoh-tokoh” – yang korup, dan tega hidup foya-foya dengan mewah berlebih-lebihan, ketika sebagian besar rakyat kita dalam kesusahan yang penuh derita. Sebab, sikap mental sebagian besar “kalangan atas” masyarakat Indonesia terhadap kehidupan rakyat banyak pada umumnya adalah sangat buruk, bahkan sangat banyak yang tidak peduli sama sekali. Banyak di antara mereka yang sudah menjadi pengkhianat kepentingan rakyat. Mereka inilah yang harus dikritik, atau dihujat, dan dijadikan salah satu di antara sasaran gerakan.


Apa sajakah sebabnya dan siapakah yang salah?


Selain itu, diangkatnya sering-sering berbagai masalah besar tersebut di tengah-tengah masyarakat merupakan juga pendidikan politik bagi orang banyak. Sebab, dalam mempersoalkan kelaparan jutaan anak-anak, atau kemiskinan yang besar-besaran, atau pengangguran yang luas, atau korupsi yang merajalela, agaknya terpaksalah akhirnya mempertanyakan apa-apa sajakah sebab-sebabnya, atau apa sajakah atau siapakah yang salah dan bagaimanakah kiranya mengatasinya atau mengubahnya.


Pandangan kritis atau yang mempertanyakan itu semuanya, yang diajukan oleh banyak orang, akan memungkinkan tumbuhnya kesadaran tentang perlunya solidaritas dalam perjuangan untuk melawan musuh yang sama juga, yaitu yang berupa kesenjangan sosial yang sangat parah.. Kesadaran kolektif ini kemudian bisa meningkat ke tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu pengenalan yang lebih baik terhadap sebab-sebab segala masalah besar tersebut.


Ketika berbagai masalah besar yang menyedihkan tersebut diatas diangkat dan ditelaah dalam-dalam, maka akan nampak dengan jelaslah bahwa berbagai akarnya itu terletak dalam sistem pemerintahan, dan politik, dan pengelolaan negara, (dan juga faktor manusianya!) yang sudah disandang sejak lama, yaitu sejak Orde Baru yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan sesudahnya, sampai sekarang. Jadi, masalah-masalah besar itu adalah penyakit yang sudah kronis selama puluhan tahun, yang tidak dapat diatasi oleh pemerintahan yang sudah berganti-ganti, tetapi yang pada pokoknya tetap menjalankan politik yang sama atau itu-itu juga.


Karena selama 32 tahun Orde Baru tidak bisa diadakan perubahan-perubahan radikal dalam kehidupan rakyat, demikian juga halnya selama pemerintahan yang berganti-ganti sesudahnya, maka kemungkinan untuk adanya perubahan-perubahan besar di kemudian hari juga tetap tipis sekali, kalau sistem kekuasaan politik yang lama masih diteruskan. Perubahan besar atau radikal atas nasib rakyat hanya bisa terjadi kalau ada perubahan radikal dalam kekuasaan politik, yang memungkinkan dilaksanakannya perubahan-perubahan besar yang menguntungkan kepentingan rakyat banyak.


Jadi, berdasarkan pengalaman 32 tahun Orde Baru ditambah sekitar 10 tahun pasca-Suharto bisalah kiranya diramalkan bahwa jumlah anak-anak yang kelaparan, dan jumlah penduduk miskin serta pengangguran akan tetap besar di kemudian hari, selama berbagai politik pemerintahan tidak dirobah secara radikal, dan diganti dengan yang betul-betul mengabdi kepada kepentingan rakyat banyak.


Salah besar, kalau “nrimo” saja !


Bahwa 62 tahun sesudah diproklamasikannya kemerdekaan negara kita, sekarang ini masih terdapat 13 juta anak-anak yang kelaparan, dan lebih dari 100 juta orang masih miskin, serta sekitar 40 juta orang tidak punya pekerjaan tetap, adalah suatu hal yang keterlaluan !!! Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah kalau kita menyuarakan kemarahan dan menghujat berbagai politik pemerintahan yang menyebabkan lahirnya masalah-masalah besar yang menyengsarakan begitu banyak orang, dan dalam jangka waktu lama pula.


Adalah kuajiban kita semua yang luhur, dan juga hak kita semua yang sah dan adil, untuk bersama-sama memperjuangkan terberantasnya berbagai masalah besar tersebut di atas, sambil mengajak berbagai kalangan mana pun dan golongan apa pun untuk bangkit mengusahakan terjadinya perubahan sistem politik dan pemerintahan, dan menjadikannya betul-betul pro-rakyat.


Agaknya, perlu menjadi kesadaran kita bersama bahwa keadaan negara dan rakyat yang begitu menyedihkan dewasa ini sama sekali bukanlah takdir Ilahi, dan bahwa kelaparan jutaan anak-anak serta kemiskinan 100 juta orang lebih atau pengangguran 40 juta orang bukanlah pula kehendak Tuhan. Adalah tugas bersama kita semua untuk merubah keadaan yang menyengsarakan rakyat banyak itu. Dan adalah salah sama sekali kalau kita bersikap “nrimo” saja.


Hanya melalui jalan dan cara itulah maka masyarakat adil dan makmur -- yang dicita-citakan rakyat Indonesia bersama dengan Bung Karno -- akan dapat dicapai. Pengalaman berbagai negeri di Amerika Latin (antara lain Venezuela dan Bolivia) memberikan contoh yang menarik, tentang pentingnya perubahan kekuasaan politik guna mengadakan perubahan fundamental demi kepentingan rakyat banyak. Dan bukannya dengan cara-cara Orde Baru beserta berbagai pemerintahan yang menggantikannya.


Juga, pengalaman kita bersama selama puluhan tahun membuktikan dengan jelas sekali, bahwa hanya melalui perubahan sistem kekuasaan politik yang betul-betul pro-rakyatlah kita akan bisa menciptakan masyarakat adil dan makmur, sehingga bisa mentrapkan Pancasila secara nyata (dan menurut jiwanya yang asli, dan bukannya Pancasila palsu à la Orde Baru) dan sungguh-sungguh menjunjung tinggi-tinggi Bhinneka Tunggal Ika.


Paris, 15 Juli
Catatan A. Umar Said
http://kontak.club.fr/13%20juta%20anak%20kelaparan%20&%20100%20juta%20orang%20miskin.htm


Tidak ada komentar: