Selasa, 28 Oktober 2008

Naskah Pidato - Sesepuh Forum Kajian Pancasila dan Ketatanegaraan Indonesia


Naskah Pidato
Sesepuh Forum Kajian Pancasila dan Ketatanegaraan Indonesia
Bapak Budi Suroso


Dalam Sarasehan Kebangsaan di Bandungan Kab. Semarang
Dalam Rangka Peringatan
Proklamasi Kemerdekaan Tanggal 17 Agustus 2008

Forum Kajian Pancasila dan Ketatanegaraan Indonesia

Sekretariat Jl. Cempaka Sari
No. 5 Rt. 08 Rw. VIII
Butuh Salatiga
Tlpn. 0298313243
Website : http://www.kpkri.co.cc
Email : kpkri1945@gmail.com



NASKAH SAMBUTAN
Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia
Tanggal 17 Agustus 2008
di Bandungan Kabupaten Semarang


Saudara-saudara sekalian !
Pada hari ini kita peringati Moment Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia yang sangat Mulia yaitu Diproklamasikannya Deklarasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Suatu Pernyataan Berdirinya Negara Indonesia yang Merdeka, Bersatu dan Berdaulat.
Deklarasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang sudah Melepaskan Diri dari Berbagai Belenggu Penjajahan. Dan pada saat ini pula Bangsa Indonesia menyatakan bahwa Tanah Air Indonesia sudah tidak ada lagi Penjajahan.

Negara Indonesia Merdeka yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, 63 tahun yang lalu itu adalah Produk dari Perjuangan Bangsa Indonesia Sendiri tanpa Bantuan dari Siapapun. Suatu Perjuangan yang Radikal Revolusioner, Menang atau Kalah, Merdeka atau Mati, Pantang Menyerah, Pantang Kompromi.
Bangsa Indonesia Berjuang Mati-matian Merebut Kedaulatan atas Tanah Airnya itu dengan Tangan Sendiri, dengan Korbanan Harta Benda dan Jiwa Raganya Sendiri.
Mengapa ada Penyerahan Kedaulatan ?
Ini adalah Rekayasa Politik Sekutu didalam memainkan Skenario Penjajahan Politiknya.
Mengapa didalam Teks Proklamasi ada embel-embel Hal-hal yang Mengenai Pemindahan Kekuasaan ?

Inipun merupakan Akal-akalannya Kaum Sekutu dengan Orang-orang Kolaborator Bangsa Indonesia yang dengan tawaran uang dan kekuasaan sampai hati menjual nusa dan bangsanya sendiri.
Saudara-saudara sekalian !
Sudah 63 tahun kita menyatakan Kemerdekaan dan sudah 63 kali kita peringati Hari Keramat itu.

Tetapi ! Sudah 63 tahun juga kita menjalani hidup Dinegeri Tercinta Indonesia ini sebagai Bangsa yang tidak mau Mengerti Sejarah Perjuangan Bangsanya.
Hidup sebagai Bangsa yang Masa Bodoh, sebagai Bangsa yang tidak Ambil Pusing Terhadap Perilaku para Elite Politik Didalam Menodai Harga Diri Bangsanya, Memutar Balikkan Sejarah Perjuangan Luhur Bangsa demi Uang dan Kekuasaan.
Mereka memilih tawaran uang dan kekuasaan daripada mencintai Tanah Airnya.
Coba lihat ! Tanggal 17 Agustus 1945, kita Bangsa Indonesia menyatakan Kemerdekaan dan Mendirikan Negara Indonesia dengan Konstitusi Undang Undang Dasar 1945 dan Dasar Negara Pancasila.

Nah ! Setelah membentuk Pemerintahan Mengapa Undang Undang Dasar 1945 tidak Dipakai Sebagai Landasan Penataan Negara ?
Mengapa Didalam Penyelenggaraan Negara Memakai Tata Cara Liberalis Negara-negara Barat ?
Dan lebih terang-terangan lagi setelah dibentuknya Multi Partai dan kemudian dibentuknya Badan Konstituante yang bertugas membuat Undang Undang Dasar Negara Indonesia.
Bukankah ini merupakan Pengkhianatan Negara ?
Siapakah yang Harus Bertanggung Jawab ?

Saudara-saudara sekalian !
Kalau masalah ini tidak segera kita bedah maka berarti kita membiarkan anak cucu kita menanggung beban noda hitam sebagai Penyakit Turunan Jiwa Pengkhianatan.
Dan dengan demikian tidak mungkin akan terujud Idealisme Luhur kita untuk membangun Dunia Baru yang bersih dari segala bentuk penjajahan dan penindasan.
Dan Bangsa Indonesia yang Berjiwa Besar akan berubah menjadi Bangsa Pengkhianat sebagai Bangsa yang Hina Dina Diantara Bangsa-bangsa.
Nah ! Saudara-saudaraku sekalian
Marilah kita tunjukkan kepada anak cucu kita bahwa sebetulnya Bangsa Indonesia ini adalah Bangsa yang Berjiwa Besar, Bangsa yang
Berbudi Luhur, Bangsa Pejuang yang Patriotik, Bangsa yang Cinta Damai, Bangsa yang Beridealisme Tinggi.

Untuk ini marilah kita ajak menengok kebelakang, kita ajak memperhatikan Tonggak-tonggak Sejarah Perjuangan Bangsanya, dengan memperhatikan Produk produk Perjuangan Bangsa Indonesia yang amat sangat Berharga Tinggi bagi Kehidupan Bangsa Indonesia dan bagi Bangsa-bangsa Dimuka Bumi ini.

Tumbuhnya Kesadaran Nasional
Bangsa Indonesia Sebelum Kemerdekaan terdiri dari Bangsa-¬bangsa Kesukuan dan Tanah Air Indonesia terdiri dari Tanah Air Kesukuan.
Orang-orang Bangsa Lain masuk ke Indonesia mencari rejeki dan kemudian Mendirikan Koloni dan yang kemudian menguasai daerah kolonial itu sebagai Kekuasaaan Kolonialnya.

Sementara mereka datang dengan baik-baik. Tetapi setelah betah di Indonesia mereka Memaksa, Menindas dan Merampas Kekayaan Rejekinya Bangsa Indonesia.
Beratus tahun lamanya Kaum Kesukuan Mengadakan Perlawanan dengan Orang-orang Bangsa Lain yang masuk ke Indonesia itu tadi yang kemudian kita sebut sebagai Bangsa Penjajah.

Diantara sekian banyak Orang-orang Bangsa Lain yang menjajah Indonesia itu, orang-orang Kompeni Bangsa Belandalah yang berkuasa dan mendirikan Pemerintahan Kolonial di Indonesia.
Ratusan tahun kita dijajah dan ditindas oleh kekuasaan Pemerintahan Kaum Kolonial Belanda.

Bangsa Indonesia Hidup Menderita, tidak ada Ketenteraman, Hidup Miskin, tidak ada Jaminan Kesejahteraan Hidup Lahir maupun Batin.
Ratusan Tahun Hidup Tertindas dan Terjajah oleh Orang-orang Bangsa Lain.

Saudara-saudara sekalian !
Kondisi kehidupan semacam inilah yang menumbuhkan suatu kesadaran yaitu Kesadaran Bangsa Indonesia bahwa Negerinya itu Terjajah. Dijajah oleh Orang Bangsa Lain dengan Perilaku yang tidak Kenal Perikemanusiaan.
Dengan tumbuhnya Kesadaran Nasional inilah kemudian membangkitkan Semangat Nasional yaitu Semangat untuk Berjuang Melawan Penjajahan Kolonial Bangsa Belanda. Suatu Perjuangan untuk Merebut Kembali Kedaulatan atas Tanah Air Indonesia.
Suatu Perjuangan Luhur Bangsa yang sudah Ratusan Tahun tidak Ada Kemerdekaan Hidup Dinegerinya Sendiri. Tidak Ada Kebebasan Didalam Menikmati Rejeki Hasil Buminya Sendiri dan tidak Ada Kebebasan Memeluk Agamanya Sendiri yaitu suatu Agama Asli Warisan para Leluhurnya Sendiri.

Kondisi kehidupan Bangsa Indonesia yang terhina sebagai Bangsa Pemeluk Agama Sesat, sebagai Bangsa Penyembah Berhala, Bangsa yang Animisme Memeluk Agama Setan.
Suatu Penghinaan yang sangat Menyakitkan Jiwa Bangsa Indonesia yang sedang Dilanda Penderitaan inilah yang menyebabkan tumbuhnya Kebangkitan Nasional. Bangkit untuk Segera Lepas dari Berbagai Belenggu Penjajahan Kolonial Belanda, Bangkit untuk Merebut Kembali Kemerdekaannya, suatu Kemerdekaan untuk Mengatur Negerinya Sendiri, Merdeka Didalam Ekonominya Sendiri, Merdeka Menjalankan Perpolitikkannya Sendiri dun Merdeka Didalam Memeluk Agamanya Sendiri.

Nah ! Saudara-saudara sekalian
Dengan tumbuhnya Kesadaran Nasional maka tumbuhlah Semangat Nasional yaitu Semangat Perjuangan untuk Merebut Kembali Kemerdekaan yang telah Dirampas oleh Orang-orang Kolonial.
Suatu Kemerdekaan untuk Membangun Negerinya Sendiri tanpa Campur Tangannya Bangsa Lain. Suatu Kemerdekaan yang Dicita-citakan oleh Setiap Bangsa Dimuka Bumi ini yang Menghendaki Hidup Berbangsa, Bebas dari Segala Bentuk Penjajahan dan Penindasan Bangsa oleh Bangsa Lain.

Bangkitnya Semangat Nasional, Bangkitnya Jiwa Bangsa Indonesia yang Ratusan Tahun Ditindas dan Dijajah oleh Bangsa Lain, Ratusan Tahun Dihina Orang sebagai Bangsa Penyembah Berhala.
Dan tumbuhlah suatu rasa Marah Semarah-marahnya. Tumbuhlah suatu rasa Dendam Kesumat yang Membakar Jiwa Bangsa yang sedang Dilanda Penderitaan yang sangat Panjang.
Maka Berkobarlah Api Semangat Perjuangan Bangsa Indonesia, maka Bangkitlah Bangsa ini dari Tidur Lelap, Bangkitlah dari Kemasa Bodohan.

Maka Berdirilah dengan Melingkiskan Lengan Baju, dengan Mata Berapi-api Menatap Kedepan Melihat Bangsanya yang Compang-camping, dengan Muka Pucat Pasi dipaksa oleh Bangsa Kolonial didalam menjalankan Kerja Paksa, menj alankan Rody dengan Siksaan Lahir dan Batin.
Kobaran Api yang nan tak Kunjung Padam Membara Dilubuk Had Bangsa Indonesia.
Bangkit ! Bangkit ! Dan Bangkitlah Segenap Bangsa Kesukuan ! Memadu Tekad untuk Bersatu Padu Melawan Penjajahan Dimuka Bumi Indonesia Tercinta ini.
Merdeka ! Merdeka ! Dan Merdekalah Indonesia Rayaku
Inilah Pekik Merdeka yang pertama kali untuk membuka Pintu Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Pada saat inilah yang kemudian kita canangkan sebagai Moment Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, yang kita sebut sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Bangkitlah Bangsaku ! Bangkitlah Negeriku !
Mulailah Perjuangan Kemerdekaan !!!
Holobis Kuntul Baris ! Bersatu Raganya ! Bersatu Jiwanya !
Ringan sama Dijinjing ! Berat sama Dipikul !
Bersatu didalam Kesatuan Kehendak yaitu Merebut Kedaulatan Atas Tanah Air Indonesia dan kemudian Mendirikan Negara Indonesia yang Merdeka, Bersatu dan Berdaulat.
Bersatu didalam Kesatuan Pikiran didalam Menyusun suatu Metode Perjuangan yang kemudian kita sebut sebagai Kesatuan Ideologi yaitu Ideologi Nasional.
Bersatu didalam Kesatuan Idealisme didalam Mewujudkan Terbentuknya suatu Negara Indonesia kalau Indonesia nanti Merdeka yaitu Susunan Masyarakat Bangsa yang Terselenggara Kehidupan Bangsa Indonesia yang Sejahtera Lahir Batinnya, Terujudnya Masyarakat yang Tenteram dengan tidak Adanya Peperangan dan Penindasan Bangsa oleh Bangsa Lain. Dan Penindasan oleh Kekuasaan Bangsanya Sendiri.

Jelaslah disitu bahwa Moment Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Hari Kebangkitan Nasional itu telah melahirkan Kesatuan Lahir dan Batin untuk Bersama-sama Berjuang dengan Asas dan Tujuan yang Sama, dengan Konsep Perjuangan yang Sama, dengan Tekad yang Sama pula.

Pendek kata ! Moment Sejarah Kebangkitan Nasional melahirkan Persatuan Nasional yang Kokoh Kuat sebagai Modal Utama dari pada Perjuangan Kemerdekaan.
Atau dengan kalimat lain bahwa Persatuan Nasional itu adalah Produk dari Perjuangan Bangsa Indonesia Sendiri.

Saudara-saudara sekalian !
Dengan Semangat Persatuan Nasional ini maka Perjuangan Kemerdekaan makin Gencar, Semangat Patriotisme makin Berkobar-kobar maka tumbuhlah suatu Idealisme yang sangat Mulia yaitu berkumpullah Leader-leader Kesukuan dari Berbagai Suku Diseluruh Tanah Air Indonesia ini Membuka Konggres Pemuda yaitu pada tanggal 28 Oktober 1928 yang melahirkan Kesepakatan yaitu :

1. Menyatukan Tanah Air Kesukuan menjadi Satu Tanah Air yaitu Tanah Air Indonesia.
2. Menyatukan Bangsa Kesukuan menjadi Satu Bangsa yaitu Bangsa Indonesia.
3. Dan mensepakati Bahasa Melayu menjadi Kesatuan Bahasa yaitu Bahasa Indonesia.

Ketiga Pokok Kesepakatan inilah yang kemudian kita sebut sebagai Bhineka Tunggal Ika.
Dan Bhineka Tunggal Ika ini kemudian kita angkat menjadi Filosofi Pemersatu Bangsa.
Jadi jelaslah sudah bahwa Persatuan Nasional yaitu Bersatunya Lahir dan Batinnya Bangsa Indonesia itu Terlahir Ditengah-tengah Kancah Perjuangan Kemerdekaan.
Dan jelaslah pula bahwa Bhineka Tunggal Ika itu Bukanlah Warisan tetapi Hasil Jerih Payah Bangsa Indonesia Didalam Perjuangan yang sangat Panjang dengan Pengorbanan Segala yang Dipunyai dalam Bentuk Harta Benda dan Jiwa Raga.
Setelah terbentuknya Persatuan Nasional ini maka Idealisme Nasional Berkembang dan disaat berikutnya maka tumbuhlah ide untuk membuat Dasar Negara Indonesia kalau nanti Indonesia Merdeka.

Tidak selang lama maka Bung Karno berhasil menuangkan pikirannya didalam suatu Naskah Dasar Negara Indonesia Merdeka yang beliau namakan Tri Sila.

1. Sila pertama : Sosio Nasionalisme
Sosio artinya Sosial yaitu Masyarakat.
Nation artinya Bangsa yaitu Bangsa Indonesia.
dan Isme adalah Suatu Paham yaitu Idealisme yang Diyakini Kebenarannya dan Diluhurkan oleh Bangsa Indonesia dan akan Diujudkan Selama Hayat masih Dikandung Badan.
Jadi Sosio Nasionalisme itu adalah Pahamnya Bangsa Indonesia.
2. Sila kedua : Sosio Demokrasi
Sosio Demokrasi dimaksud adalah Kekuasaan Pemerintahan Negara Indonesia itu Ada Ditangan Rakyat Indonesia Secara Keseluruhan tanpa Pandang Bulu dan tidak Adanya Diskriminasi Orang perorang atau Golongan pergolongan.
3. Sila ketiga : Ketuhanan

Sila ketiga ini terdiri dari 2 aspek :

a. Sila Ketuhanan Dibidang Keimanan yaitu Kepercayaan Bangsa Indonesia Terhadap Keberadaan Tuhan Pencipta Semesta Alam bahwa Bangsa Indonesia dan Bangsa-bangsa Diseluruh Muka Bumi ini Ada karena Kuasa Tuhan. Dan bahwa Tanah Air Indonesia dan Tanah Air Bangsa-bangsa ini Diciptakan untuk Dipergunakan bagi Bangsa Indonesia dan Bangsa-bangsa untuk Sarana Hidupnya Masing¬masing.
Dan Didalam Mukadimah Undang Undang Dasar 1945 Bangsa Indonesia Mengakui bahwa Kemerdekaan yang Diperoleh atas Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa.

b. Sila Ketuhanan Dibidang Filsafat atau Pandangan Hidup Bagi Bangsa Indonesia dan Bagi Bangsa-bangsa sebagai Landasan Pandang dan Keilmuan.
Landasan Pandang yaitu Memandang Segala Sesuatu yang Ada dan yang Keberadaannya atas Kuasa Tuhan yang Kelihatan dan yang tidak Kelihatan. Dan yang bisa Dirangsang oleh Panca Indera dan yang tidak Terangsang oleh Panca Indera. Dan Bersifat Lahir maupun Batin yang Berada Didalam Alam Semesta dan pada Dirinya Manusia. Pandangan Hidup Man usia yang Bertujuan untuk Mengerti dan Memahami Segala Sesuatu dengan Segala Hal Ihwal yang Bersifat Metafisika yaitu Fenomenal yang Terkandung Didalamnya sebagai Ujud Kemaha Kuasaan Tuhan Didalam Menciptakan Segala Sesuatu Dialam Semesta ini.
Saudara - saudara sekalian !
Tuangan Pikiran Bung Karno yang dikenal dengan Tri Sila ini dijabarkan didalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 didalam rapat BPUPKI dan yang secara aklamasi diterima sebagai Dasar Negara Indonesia kalau nanti Indonesia Merdeka.

Sila Pertama : Sosio Nasionalisme dijabarkan menjadi 2 sila yaitu: Nasionalisme dan Internasionalisme.
Sila Kedua : Sosio Demokrasi dijabarkan menjadi 2 sila yaitu : Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi.
Jadi Tri Sila kemudian dirubah dengan Pancasila.
Dan setelah itu karena makin berkembang Idealisme Nasional maka muncullah konsepsi-konsepsi baru tentang Berbagai Kelengkapan Berdirinya Suatu Negara.

Maka dibuatlah :
Bendera Kebangsaan Indonesia yaitu Bendera Merah Putih sebagai Lambang Tuangan Jiwa Bangsa Indonesia yang Patriotik, Pantang Menyerah, Pantang Kompromi dan Didasari oleh Kehendak Luhur Berjuang Merebut Kembali Kedaulatan atas Tanah Airnya.
Disusunlah Lagu Kebangsaan Indonesia yaitu Indonesia Raya sebagai Luapan Kebanggaan Bertanah Air Indonesia.

Lambang Garuda Pancasila menggambarkan Gagah Perkasanya Patriot¬-patriot Indonesia Didalam Berjuang Merebut Kemerdekaan, Kokoh Kuat Di dalam Mempertahankan Bhineka Tunggal Ika sebagai T'ilosofi Pemersatu Bangsa dan sebagai Sosok Satria Bangsa yang Berjiwa Pancasila yang Setiap Saat Siap Mempertahankan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah Mendekati Tercapainya Perjuangan Didalam 1Ylerebut Kemerdekaan maka disusunlah Rancangan ZJndang tlndang Dasar Negara Indonesia dengan Dasar Negara Pancasila sebagai Konstitusi Negara.
Nah ! Saudara-saudara sekalian
Disini jelaslah bahwa Deklarasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 itu adalah Deklarasi Berdirinya Negara Indonesia yang Merdcka, Bersatu dan Berdaulat dengan Konstitusi Negara tTndang Undang Dasar 1945 yang Berdasarkan Pancasila, Lengkap dengan Prasarana Kelengkapan Berdirinya suatu Negara dan semua Prasarana Berdirinya Negara Indonesia ini adalah Produk dari Perjuangan Bangsa Indonesia Sendiri.

Nah ! Jelaslah pula bahwa adanya bermacam-macam Perjanjian dan Penyerahan Kedaulatan itu semua merupakan Skenario Politik Sekutu didalam menancapkan Penjajahan Politiknya di Indonesia.
Saudara-saudara sekalian !
Saya kira cukup sekian ! Dan kami berharap agar naskah ini disebar luaskan Khususnya kepada Anak-anak Muda Kita sebagai Penerus Perjuangan Bangsa.
Dirgahayu Indanesiaku !
Merdeka !






Dialog Interaktif
Sesepuh Forum Kajian Pancasila dan Ketatanegaraan Indonesia
Dengan Bapak Budi Suroso



Dalam Sarasehan Kebangsaan

Tanggal 17 Agustus – 5 Oktober 2008

di Bandungan Kab. Semarang








Pertanyaan :

◘ Indonesia sebelumnya dijajah oleh Penjajahan Kotonial Belanda dan Fasisme Jepang. Sekarang ini Indonesia dijajah oleh Penjajahan Politik Sekutu. Mohon penjelasan tentang Penjajahan Politik ?

Penjelasan :
◘ Kita ini bicara masalah Indonesia sekarang. Kemarin kita ini menghadapi dua penjajahan yaitu Penjajahan Kolonial Belanda dan Fasisme Jepang. Setelah kita lepas dari dua penjajahan itu kemudian kita menyatakan bahwa Indonesia telah Merdeka.
Setelah itu kemudian kita dijajah oleh Penjajahan Potitik Sekutu. Mengapa Kita Sebut sebagai Penjajahan Politik ? Sebab yang dijajah itu Sistem Ketata Negaraan Indonesia. Karena itu Undang Undang Dasar 1945 tidak Dipakai sebagai Sistem Penataan dan Penyelenggaraan Negara. Tetapi sistem yang dipakai adalah Sistem Liberalis.
Ini Sistem Liberalis Dibidang Politik dan Ekonomi. Sistem Liberalisasi Politik dinyatakan dengan dibentuknya Multi Partai dengan Demokrasi Liberalnya.
Penjajahan Politik Sekutu ini mencakup penjajahan semua aspek kehidupan bangsa. Karena itu kita sebut sebagai Penjajahan Multi Kompleks. Semua bangsa didunia ini sekarang sudah terjajah semua dengan Penjajahan Multi Kompleks. Inilah yang disebut dengan Penjajahan Global.

Tidak ada satu bangsapun yang tidak terjajah. Jadi sampai sekarang ini Penjajahan Politik itu masih Berlaku untuk Semua Bangsa Dimuka Bumi ini Termasuk Di Indonesia. Itulah Fenjajahan di Indonesia.


Pertanyaan :
◘ Didalam Konstitusi Undang Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang Berkedaulatan Rakyat. Mohon dijelaskan tentang Kedaulatan Rakyat ?

Penjelasan :
◘ Secara histori Kedaulatan atas Tanah Air Indonesia itu adalah Produk dari Perjuangan Rakyat dari Berbagai Suku Diseluruh Tanah Air. Jadi Berdirinya Negara Indonesia itu karena adanya Kedaulatan Rakyat.
Atau dengan kata lain Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia itu atas Kedaulatan Rakyat.
Ini berarti pula bahwa yang Berdaulat atas Tanah Air Indonesia itu adalah Seluruh Rakyat Indonesia.

Nah ! Sekarang yang periu ditanyakan adalah Apakah Sekarang ini Rakyat Indonesia Masih Berdaulat atas Tanah Airnya ?
Sejak dibentuknya Multi Partai sampai saat ini Kedautatan Rakyat itu telah berubah menjadi Kedaulatan Partai -partai Politik Liberal. Didalam perebutan kekuasaan, partai yang menang itulah yang berkuasa.

Inilah ujud dari Penjajahan Politik Liberal oleh Kaum Sekutu dengan Sistem Penjajahan Politik Modernnya yang dilakukan oleh orang¬orang Kolaboratornya Bangsa Indonesia. Yaitu Bangsamu Sendiri yang Memberatkan Uang dan Tawaran Kekuasaan dari pada Keeintaannya Terhadap Bangsa dan Tanah Airnya.

Pertanyaan :
◘ Didalam kancah Perjuangan Bangsa Indonesia adalah untuk mendapatkan Kemerdekaan. Apakah makna Kemerdekaan sebagai Asas Perjuangan Bangsa Indonesia dan makna Kemerdekaan dalam Mukadimah Undang Undang Dasar 1945?
Kemudian apakah makna Kemerdekaan didalam Pasal 28 dan Pasal 29 Undang Undang Dasar 1945, mohon penjelasan ?

Penjelasan :
◘ Arti Kemerdekaan didalam Perjuangan Kemerdekaan Bangsa yaitu Indonesia telah Berhasil Melepaskan Diri dari Berbagai Belenggu Penjajahan dan Penindasan. Dengan bahasa lain Bangsa Indonesia telah Mendapatkan Kemerdekaannya dan kemudian Mendirikan Negara Indonesia Merdeka.
Arti Kemerdekaan didalam Mukadimah Undang Undang Dasar 1945 yaitu Bersamaan dengan ini maka. Diamanatkan bagi Bangsa-bangsa Diseluruh Mukar Bumi ini bahwa Kemerdekaan itu adalah Hak Segala Bangsa maka Bangsa Indonesia Mengajak Bangsa-bangsa Didunia untuk Bersama-sama Melepaskan Diri dari Berbagai Belenggu Penjajahan dan Penindasan Bangsa Lain.

◘ Makna Kemerdekaan didalam Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945 yaitu Undang Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi merupakan Sumber Moralitas Bangsa Indonesia. Jadi Baik dan Buruk Perilaku, Benar dan tidak Benar dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara bagi Bangsa Indonesia itu harus Terpimpin yaitu Terpimpin oleh Amanat Konstitusi.
Didalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 Negara Memberikan Kebebasan dan Kemerdekaan kepada Setiap Warga Negara untuk Berserikat, Berkumpul, Mengeluarkan Pendapat Lisan maupun Tertulis. Kemerdekaan dan Kebebasan yang dimaksud adalah Kebebasan suatu Bangsa artinya Kebebasan dan Kemerdekaan Yang Terpimpin oleh Amanat Konstitusi yaitu Kebebasan Yang Mengarah kepada Terujudnya Amanat Penderitaan Rakyat.
Suatu Amanat yang bisa Mewujudkan Terciptanya Kesejahteraan dan Batin, yang bisa Mewujudkan Bangsa, yang bisa Mewujudkan Adil
bisa Mewujudkan Pengayoman bagi Keselamatan Masyarakat Bangsa dan Keselamatan Tanah Air Indonesia.

Amanat Penderitaan Rakyat inilah yang Menunjukkan Arah bagi Semua Kegiatan Sosial bagi Semua Kegiatan Sosial Kemasyarakatan dan Kegiatan Sosial Politik. Jelaslah bahwa Kemerdekaan didalam Kegiatan Sosial Kemasyarakatan bagi Setiap Warga Negara harus Mengarah kepada Terujudnya Amanat Penderitaan Rakyat.

Makna Kemerdekaan didalam Pasal 29 Undang Undang Dasar 1945 yaitu Kemerdekaan dan Kebebasan yang Diberikan oleh Negara kepada Setiap Warga Negara itupun Merupakan Kebebasan dan Kemerdekaan Terpimpin. Bukan Kemerdekaan Individual.
Nah ! Untuk penjelasan ini maka Harus Dijawab Dulu Undang Undang Dasar itu Undang Undang Dasarnya Siapa ?
Jawabnya Undang Undang Dasar 1945 itu adalah Undang Undang Dasarnya Bangsa Indonesia. Jelaslah bahwa Bab-bab yang Terkandung Didalam Undang Undang Dasar itu adalah Bab-babnya Bangsa Indonesia. Kalau berbicara Bab Agama adalah Bab Agama Indonesia. Jadi Kemerdekaan dan Kebebasan yang Diberikan oleh Negara itu Kebebasan Memilih Agama yang Diyakininya yaitu Agama Indonesia. Agama Indonesia itu adalah Agama-agama Kesukuan yang bermacam-macam, yang sudah menjadi pelukan bagi Bangsa-bangsa Kesukuan sebagai Agama Warisan para Leluhurnya dan yang Diyakini bahwa Agama ini adalah Anugerah Yang Maha Kuasa.



Rabu, 06 Februari 2008

Sesudah Suharto meninggal

Sesudah Suharto dikuburkan di Astana Giribangun dengan upacara yang terasa bagi banyak orang berlebih-lebihan, dan sesudah sekitar tiga minggu pers dan televisi menjejali masyarakat dengan berbagai siaran - yang juga dengan cara-cara yang “kebablasan” - mengenai sakitnya dan kemudian mengenai meninggalnya, maka sekarang orang mulai bertanya-tanya apa saja yang akan terjadi selanjutnya. Umpamanya : apa yang akan terjadi dengan berbagai perkara anak-anaknya, bagaimana kelanjutan proses hukum tentang kasus 7 yayasan, apa jadinya dengan kasus laporan PBB dan Bank Dunia tentang harta yang dicurinya, dan apakah kesalahan dan dosa-dosanya bisa dima’afkan rakyat, atau, apakah ia bisa diangkat sebagai “pahlawan nasional” ? Atau, apakah Suharto adalah orang yang perlu atau pantas dihormati karena sudah “berjasa besar”? Atau, lainnya lagi, apakah Suharto seorang “negarawan yang terhormat”?

Bukan hanya itu saja, melainkan masih banyak sekali soal-soal besar dan parah, yang ditinggalkan sebagai warisan Suharto, yang harus dihadapi rakyat dan negara. Jadi, persoalan Suharto tidak habis dengan dikuburkannya di Giribangun, tetapi masih akan mempunyai buntut yang panjang sekali.Sebab, persoalan Suharto adalah persoalan yang besar, serius, dan menyangkut banyak masalah, dan yang kebanyakan menjadi masalah yang sangat kontroversial.

Makin jelas : Orde Baru jilid II

Satu hal yang patut menjadi perhatian kita semua adalah bahwa dengan “hiruk pikuk” selama lebih dari 3 minggu selama ia sakit sampai meninggalnya pada tanggal 27 Januari, para Suhartois dan para pendukung Orde Baru telah membuang kedok mereka dengan terang-terangan menyatakan masih menaruh simpati yang besar dan hormat yang tinggi kepada orang yang selama ini sudah dikutuk atau dihujat oleh banyak orang, baik di Indonesia maupun di kalangan internasional. Dan mereka ini terdiri dari “tokoh-tokoh” penting di bidang eksekutif, legislatif, judikatif, partai-partai politik, kalangan agama, dan militer di negeri kita.

Dari serentetan peristiwa yang berkaitan dengan sakitnya sampai meninggalnya Suharto sudah nampak dengan jelas sekali bahwa pengaruh Orde Baru masih kuat sekali di kalangan “elite” negeri kita, dan bahkan sebagian besar kekuasaan politik (dan media !) ada di tangan para simpatisan Suharto. Fenomena ini, sekali lagi, dan untuk kesekian kalinya, menunjukkan dengan jelas bahwa pada pokoknya, atau pada intinya, pemerintahan di negeri kita dewasa ini, adalah Orde Baru jilid dua. Ini adalah masalah penting (dan serius !) , yang patut jadi pegangan kita dalam membaca situasi dan melakukan berbagai kegiatan demi perbaikan kehidupan bangsa dan negara kita.

Dengan kacamata yang demikian maka kita bisa melihat lebih jernih bagaimanakah sebenarnya pemerintahan SBY-JK, dan bagaimana pulakah Golkar yang merupakan kekuatan politik dominan yang banyak menduduki pos-pos penting dalam bidang eksekutif, legislatif, judikatif ( dan militer !). Dengan kacamata yang begini kita bisa juga melihat bahwa ucapan presiden SBY pada upacara di Giribangun tentang Suharto adalah sepenuhnya bernafaskan Orde Baru ( Kalimatnya : “Kita telah kehilangan putra terbaik bangsa, seorang pejuang setia, prajurit sejati dan seorang negarawan terhormat Dengan jujur dan hati yang bersih, kita patut mengakui begitu banyak jasa yang almarhum berikan kepada bangsa dan negara” – Gatra 28 Januari).

Dengan kalimat SBY yang lain “yang meminta seluruh bangsa Indonesia agar berjiwa besar dan tulus memberikan terimakasih dan penghargaan yang tinggi atas darma bakti Suharto kepada bangsa dan negara, maka nyatalah bahwa seruannya ini (sama dengan yang dilontarkan oleh banyak simpatisan-simpatisan Suharto lainnya, terutama dari kalangan Golkar) adalah bertentangan sama sekali dengan aspirasi rakyat yang menuntut diadilinya Suharto karena dosa-dosanya yang banyak dan besar.

Suharto dan Golkar adalah satu dan senyawa

Dengan kacamata yang demikian itu pulalah kita bisa melihat mengapa Ketua DPR Agung Leksono, yang juga pimpinan utama Golkar juga bicara muluk-muluk tentang Suharto dalam upacara di jalan Cendana, dan mengapa pimpinan fraksi Golkar di DPR berusaha dengan getol mengusulkan supaya Suharto diberi gelar pahlawan nasional. Sebab, Suharto adalah orang penting (ketuanya) dalam Dewan Pembina Golkar, dan selama puluhan tahun menjadi “pemilik” atau “penguasa” Golkar. Dalam kaitan ini maka bisalah kiranya diibaratkan bahwa Suharto adalah Golkar atau bahwa Golkar dan Suharto adalah satu dan senyawa. Atau untuk lebih jelas lagi, yaitu bahwa Suharto dan Golkar dan Orde Baru adalah satu.

Karena masih kuatnya orang-orang Suhartois dalam berbagai bidang pemerintahan itulah maka kita bisa mengerti bahwa tuntutan untuk mengadili Suharto tadinya (sebelum ia meninggal) mendapat begitu banyak halangan, dan sekarang pun masih sulit untuk mengusut perkara 7 yayasannya atau mengembalikan harta yang dicurinya (menurut program PBB dan Bank Dunia StAR Initiative). Malahan, diberitakan bahwa dalam sidang konferensi UNCAC di Bali , delegasi Indonesia-lah yang justru menghalang-halangi dibicarakannya soal korupsi Suharto dalam konferensi itu (Jawapos 29 Januari)

Dari segi ini kita bisa melihat bahwa bagi Golkar (dan pendukung-pendukung Orde Baru lainnya yang terdapat di berbagai kalangan), membela nama baik Suharto adalah sangat penting untuk menjaga kepentingan mereka sendiri, mengingat begitu eratnya hubungan antara Suharto dengan Golkar. Jatuhnya nama Suharto atau rusaknya citranya adalah satu hal yang sama sekali tidak menguntungkan Golkar bahkan ikut juga merusaknya. Oleh karena itu, dengan berbagai cara dan jalan, Golkar dan para Suhartois lainnya berusaha sekuat mungkin supaya Suharto jangan sampai dituntut pengadilan atau dicemarkan namanya.

Gelar “pahlawan nasional” untuk Suharto

Untuk tujuan ini, antara lain, maka diusahakan supaya proses hukum terhadap Suharto dihentikan, atau supaya perkaranya di-deponir, atau dibatalkan, dengan alasan sakit permanen, atau karena usia lanjut, atau dima’afkan kesalahan-kesalahannya karena “mengingat jasa-jasanya”. Dengan tujuan yang searah ini pulalah maka Golkar melontarkan kampanye pembentukan opini umum tentang perlunya Suharto diberi gelar pahlawan nasional. Sebab, kalau gelar pahlawan nasional itu berhasil diraih untuk Suharto, maka akan makin sulitlah usaha untuk menuntut diadilinya dosa-dosa yang begitu banyak telah dibuatnya. Jadi, gelar pahlawan nasional itu bukan hanya menyelamatkan nama baik Suharto saja, melainkan juga juga kepentingan menyelamatkan citra Golkar dan para Suhartois umumnya. Gelar pahlawan nasional kepada Suharto adalah “perisai” atau “payung” bagi Golkar dan para Suhartois lainnya, untuk menyelamatkan diri dari hujatan banyak orang.

Dengan kacamata bahwa pemerintahan dewasa ini adalah Orde Baru jilid dua, maka kita akan bisa melihat bahwa perspektif tentang situasi negara dan bangsa kita di masa datang yang dekat ini sama sekali tidaklah cemerlang. Kerusakan moral dan pembusukan mental di kalangan para pejabat dan kalangan elite, yang sudah berjalan puluhan tahun (!!!) akan diteruskan oleh orang-orang Orde Baru jilid dua ini. Seperti yang bisa sama-sama kita saksikan, apa yang buruk di jaman Orde Baru akan terus berlangsung, dalam bentuk dan cara baru, dan dengan kadar yang baru juga.

Kita sudah sama-sama melihat bahwa banyak soal parah yang diwariskan oleh Orde Baru tidak atau belum bisa diatasi atau dipecahkan, bahkan banyak yang tambah makin parah.Korupsi besar-besaran malahan makin menjadi-jadi (ingat kasus-kasus yang terbaru : kasus pimpinan Bank Indonesia dan anggota-anggota DPR yang tersangkut dengan dana BLBI, kasus mantan Letnan Jenderal dan Menteri Dalamnegeri Hari Sabarno soal pengadaan mobil-mobil pemadam kebakaran). Pengangguran dan kemiskinan masih tetap merupakan sumber penderitaan rakyat banyak. Angka kemiskinan malah meningkat dari 35 juta dalam tahun 2005 menjadi 39 juta dalam tahun 2007 (Tempo Alternatif 31 Januari 2008).

Dengan GOLKAR tidak akan ada perubahan besar

Dengan adanya kekuaaan politik yang pada pokoknya masih dikuasai oleh orang-orang Orde Baru jilid dua sekarang ini, maka tidak banyak yang bisa diharapkan dari mereka adanya perubahan-perubahan besar dan fondamental untuk perbaikan kehidupan rakyat banyak, terutama rakyat miskin yang jumlahnya puluhan juta keluarga ini. Keadaan yang demikian ini akan tetap berlangsung terus, selama orang-orang Suhartois masih menduduki pos-pos penting di berbagai bidang pemerintahan. Singkatnya, dari para Suhartois sama sekali tidaklah bisa diharapkan adanya perbaikan besar untuk kehidupan rakyat banyak.

Kalau Golkar (dan kalangan Suhartois lainnya) sudah terbukti – dengan jelas pula ! - tidak bisa berbuat banyak untuk perbaikan hidup orang banyak selama 32 tahun Orde Baru ditambah 10 tahun pasca-Suharto, maka tidaklah ada alasan bagi kita semua untuk bisa percaya bahwa dalam masa dekat ini mereka akan bisa berbuat lebih baik lagi dari pada yang sudah-sudah. Malahan sebaliknya, situasi akan makin parah di berbagai bidang. Banyak tanda-tandanya sudah bisa kita baca mulai sekarang.

“Arus balik” perlawanan terhadap Orde Baru jilid II

Karenanya, kita semua patut gembira bahwa sesudah meninggalnya Suharto, maka akhir-akhir ini muncul tanda-tanda tentang adanya “arus balik”, yang berupa perlawanan keras dari banyak kalangan masyarakat terhadap Orde Baru jilid dua. Arus balik perlawanan ini bukan hanya berupa penolakan terhadap seruan para Suhartois untuk mema’afkan algojo pembunuhan besar-besaran terhadap jutaan orang tidak bersalah apa-apa atau pencuri uang rakyat nomor satu di dunia ini, melainkan juga perlawanan politik, yang antara lain berupa penolakan untuk mengibarkan bendera setengah tiang, atau penampikan usul untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepadanya.

Yang lebih menggembirakan lagi adalah kenyataan bahwa “arus balik perlawanan” terhadap Orde Baru jilid dua ini lahir dari berbagai kalangan yang luas sekali, dan bukan lagi hanya terdiri dari para korban Orde Baru saja atau golongan “kiri” lainnya, melainkan juga terdiri dari kalangan-kalangan lainnya dalam masyarakat. Mereka telah membentuk berbagai macam organisasi front bersama, ada yang dinamakan Aliansi Rakyat Mengadili Suharto, ada yang dengan nama Kesatuan Rakyat Adili Suharto (KERAS). Ada yang di Solo .menamakan dirinya AMUK RAKYAT (Aliansi Rakyat untuk Kesejahteraan Rakyat)

Dalam berbagai organisasi front luas ini ambil bagian bermacam-macam organisasi, yang terdiri dari kaum intelektual, seniman, ahli hukum, buruh, tani, perempuan, rakyat miskin dll. Yang paling menggembirakan ialah adanya kegiatan atau aksi-aksi yang banyak dilakukan oleh generasi muda, yang terdiri dari kalangan mahasiswa atau kalangan pemuda lainnya.

Di Bali dalam demo yang diadakan oleh berbagai organisasi mahasiswa telah dibagi-bagikan pernyataan yang berisi tuntutan supaya kasus korupsi Soeharto terus diusut hingga ke kroni-kroninya. “Tidak ada alasan untuk menghentikan apalagi hanya karena ingin memberi gelar pahlawan,” tegas Hasan yang menjadi Korlap aksi itu. Poster yang dibuat antara lain bertuliskan, “Adili kroni Soeharto”, “Tidak ada Kata Maaf untuk Pelanggar HAM”, dan lain-lain.

Di Semarang para mahasiswa menyatakan menolak keras jika pemerintah memberikan gelar pahlawan kepada mendiang mantan Presiden RI Suharto. Mahasiswa menilai, “Suharto bukanlah sosok pahlawan yang berhasil membawa bangsa ini ke arah yang benar dan mensejahterakan rakyat”

Tampilnya generasi muda adalah menggembirakan

Aksi-aksi yang serupa atau searah jiwanya telah diadakan juga oleh berbagai kalangan (terutama generasi muda) di Jakarta, di Solo, di Jogya, di Medan dll Tampilnya generasi muda dalam banyak aksi-aksi perlawanan terhadap Orde Baru jilid dua dan penolakan terhadap usul-usul untuk pemberian gelar pahlawan kepada Suharto adalah penting, baik untuk dewasa ini maupun untuk masa datang. Masa depan bangsa dan negara kita adalah di tangan mereka, di samping pentingnya peran golongan-golongan lain dalam masyarakat. Kebangkitan generasi muda sekarang ini adalah investasi yang berharga bagi rakyat di kemudian hari. (Harap baca « Kumpulan berita » dalam rubrik Sesudah Suharto meninggal dan Meninggalnya mantan presiden Suharto di website http://kontak.club.fr/index.htm ).Mengingat hal-hal itu semua, maka menjadi makin jelaslah bahwa perjuangan bersama dari seluruh kekuatan demokratis di Indonesia melawan Orde Baru jilid dua menjadi satu dengan perlawanan terhadap usul diberinya gelar pahlawan nasional kepada Suharto, dan perlawanan terhadap perma’afan terhadap segala dosa-dosanya yang besar di bidang HAM dan KKN. Melawan bersama-sama - dengan segala cara dan bentuk - terhadap Orde Baru jilid dua yang masih tetap didominasi oleh kekuatan-kekuatan pro Suharto (baca : terutama Golkar dan sebagian dari militer) adalah satu-satunya jalan untuk menuju tercapainya perubahan-perubahan fondamental bagi kehidupan rakyat banyak, terutama rakyat miskin.

Singkatnya dan jelasnya, akan sama-sama kita saksikan, nantinya, bahwa negara dan bangsa Indonesia akan bisa mengadakan perubahan-perubahan besar hanya kalau para Suhartois (dalam Golkar dan kalangan-kalangan lainnya) sudah dapat disingkirkan dari kekuasaan politik. Hanya kekuasaan politik di tangan kekuatan-kekuatan demokratis yang benar-benar pro-rakyatlah yang akan bisa menciptakan perubahan-perubahan besar di Indonesia, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman berbagai negeri di Amerika Latin dewasa ini..

Paris, 31 Januari 2008
Catatan A. Umar Said
(Tulisan ini juga disajikan dalam website http://kontak.club.fr/index.htm)

Suharto bukanlah pahlawan !!!

 Tulisan ini dimaksudkan guna mengajak para pembaca untuk bersama-sama merenungkan adanya suara-suara ( terutama dari tokoh-tokoh Golkar) yang mengusulkan supaya Suharto diberi gelar pahlawan nasional sesudah ia meninggal. Sebab, usul yang demikian ini menunjukkan bahwa perlu diragukan kejernihan nalar orang-orang yang mengusulkannya, atau, dengan kalimat lainnya, pantas disangsikan akan kesehatan cara berfikir mereka. Adanya usul atau fikiran yang segila itu, menunjukkan bahwa ada sebagian dari “ kalangan elite” di negeri kita yang sedang diserang penyakit rochani yang akut.

Sebab, gagasan atau usul untuk memberikan gelar “pahlawan nasional” kepada Suharto itu bukan saja merupakan tantangan yang tidak tanggung-tanggung atau provokasi besar sekali bagi banyak kalangan di negeri kita (dan juga kalangan internasional) tetapi juga membikin makin ruwetnya berbagai masalah Suharto yang selama ini memang sudah ruwet dan juga rumit. Usul gila ini merupakan salah satu di antara serentetan panjang blunder (kesalahan besar) dari Golkar yang sudah sering dilakukan selama berpuluh-puluh tahun.

Usul Golkar (dengan dukungan para Suhartois lainnya dalam berbagai kalangan, terutama dari kalangan militer) untuk memberi gelar pahlawan kepada Suharto menunjukkan bahwa Golkar -- yang sekarang mendominasi kekuasaan politik dalam Orde Baru jilid II dewasa ini -- menyangka bahwa meninggalnya Suharto merupakan kesempatan baik untuk “mengembalikan” nama baik dan kehormatannya, yang sudah rusak atau anjlok sejak turunnya sebagai presiden dalam tahun 1998.

Rusaknya atau anjloknya nama dan kehormatan Suharto adalah akibat dari berbagai politiknya menjalankan rejim militer Orde Baru dan banyak kejahatannya di bidang HAM dan KKN.

Golkar, yang selama 32 tahun merupakan alat utama Suharto (ditambah militer) dalam menguasai sepenuhnya pemerintahan tangan besi Orde Baru, berkepentingan sekali bahwa Suharto dapat “merebut” kembali nama baik dan kehormatannya. Oleh karena adanya hubungan yang erat sekali antara Golkar dan Suharto maka kehancuran nama dan “kehormatan” Suharto bisa juga menyebabkan kemerosotan “nama baik dan kehormatan” Golkar.



Pimpinan Golkar sekarang, kelihatan salah perhitungan atau keliru sekali membaca situasi, dengan mengajukan usul pemberian gelar pahlawan nasional kepada Suharto. Karena, usul ini telah menuai banyak reaksi keras yang mencerminkan dengan jelas kemarahan dan juga membangkitkan perlawanan dari banyak kalangan (Harap simak juga “Kumpulan berita” di rubrik “Meninggalnya mantan presiden Suharto’ dan “Sesudah Suharto meninggal”).

Perlawanan keras dari berbagai kalangan (terutama dari kalangan generasi muda) terhadap usaha-usaha kekuatan Orde Baru jilid II untuk memberi gelar pahlawan kepada Suharto ini merupakan peristiwa yang cukup penting dalam sejarah gerakan perlawanan rakyat terhadap kekuatan Suhartois. Bisa diharapkan bahwa gerakan perlawanan yang sekarang ini akan berkembang terus kemudian sehingga merupakan kelanjutan dari gerakan besar-besaran dalam tahun 1998 yang bersejarah itu dan yang membikin jatuhnya kekuasaan Suharto sebagai presiden.

Cuplikan dari beberapa di antara reaksi keras tersebut di bawah ini kiranya cukup jelas untuk mengukur suhu atau derajat kemarahan berbagai kalangan terhadap usul gila ini :

Reaksi keras dari kalangan muda

 Sejumlah aktivis gerakan mahasiswa angkatan 1977/1978 menolak rencana pemerintah untuk memberikan gelar pahlawan kepada mantan presiden Soeharto. “Sampai sekarang kejahatan kemanusiaan Soeharto belum disentuh. Pemberitaan yang berlebihan tentang prestasi dan jasa Soeharto, dirasakan tidak adil dan melukai hati para korban kebijakan Soeharto. Seperti dalam kasus Aceh, Papua, Lampung, Tanjung Priok, Kasus Gerakan Mahasiswa 77-78, 27 Juli, Haur Koneng, Gerakan 30 September, Petrus, Waduk Nipah, Tapol-Napol, »ujar Mahmud Madjid, salah seorang aktivis angkatan 1977-1978 di Bandung (Tempo Interaktif, 31 Januari 2008)

Puluhan mahasiswa di Bali menggelar aksi unjuk rasa menolak usulan pemberian gelar pahlawan bagi almarhum mantan Presiden RI Soeharto. Mereka justru menyebut Soeharto sebagai Bapak Pelanggaran HAM. Mereka juga membagi-bagikan pernyataan yang berisi tuntutan akan kasus korupsi Soeharto terus diusut hingga ke kroni-kroninya. “Tidak ada alasan untuk menghentikan apalagi hanya karena ingin memberi gelar pahlawan,” tegas Hasan yang menjadi Korlap aksi itu. Poster yang dibuat antara lain bertuliskan, “Adili kroni Soeharto”, “Tidak ada Kata Maaf untuk Pelanggar HAM”, dan lain-lain.

Mahasiswa yang berasal dari berbagai organisasi itu menilai, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah bertindak represif dengan mewajibkan pengibaran bendera setengah tiang sebagai tanda duka cita atas meninggalnya Soeharto. Padahal, sepanjang kekuasaannya Soeharto telah menyakiti hati rakyat dengan rangkaian pelanggaran HAM sejak pasca-peristiwa G-30S PKI hingga penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Dalam tuntutannya, mereka meminta Presiden Yudhoyono menuntaskan pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM, menetapkan rezim Orde Baru sebagai rezim pelanggaran HAM, menyatakan Soeharto sebagai penjahat HAM dan mengusut tuntas serta melacak harta hasil korupsi milik Soeharto (Koran Tempo, 30 Januari 2008).

Penolakan pemberian gelar kepada mendiang Soeharto juga diungkapkan Mahasiwa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang iyang mengatakan bahwa « tidak ada gunanya pemerintah memberikan gelar pahlawan kepada penguasa yang otoriter seperti Soeharto. Apalagi, masyarakat saat ini masih terbebani akibat kebijakan-kebijakan Soeharto yang menjerumuskan. "Gimana disebut sebagai pahlawan kalau ia menjerumuskan bangsa ini ke jurang kemiskinan," katanya. (Koran Tempo, 30 Januari 2008).
Sakiti Hati Rakyat

Sejumlah kalangan menilai mantan Presiden Soeharto tidak layak diberi gelar pahlawan. Pasalnya, sampai ia meninggal dunia, statusnya masih sebagai terdakwa kasus korupsi.

Selain itu, begitu banyak orang yang dibunuh dan dipenjara tanpa melalui proses hukum pada masa pemerintahan Soeharto. "Kalau ia diberi gelar pahlawan, justru menyakiti hati rakyat, terutama para keluarga korban kekejaman di masa pemerintahannya," kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid di Jakarta.

Selain itu, kata Usman, sangat ironis kalau Soeharto diberi gelar pahlawan karena sejumlah mahasiswa yang tewas ditembak "anak buah" Soeharto pada 1998 karena menuntut dia mundur telah diberi gelar pahlawan reformasi. Sedangkan di sisi lain, Soeharto yang diduga kuat sebagai dalang peristiwa itu juga akan diberi gelar pahlawan.

Senada dengan itu, Koordinator Tim Advokasi dan Rehabilitasi Korban Tragedi 1965 Witaryono Reksoprodjo mengatakan kalau Soeharto diberi gelar pahlawan, selain menyakiti rakyat Indonesia, juga memalukan bangsa dan negara. Pasalnya, di mata dunia internasional Soeharto adalah mantan kepala negara yang mencuri harta negaranya paling tinggi dibanding kepala negara lain yang juga korup. Selain itu, ketika Soeharto meninggal dunia media massa asing memberitakan Soeharto sebagai seorang mantan diktator yang kejam. "Sudahlah. Ia tidal layak diberi gelar pahlawan," kata dia.

John Pakasi, salah satu korban pelanggaran HAM berat 1965, mengatakan Soeharto adalah diktator yang kejam, bahkan lebih kejam dari Hitler. "Mana bisa orang seperti dia diberi gelar pahlawan?" ujar pria yang dipenjara selama 9 tahun tanpa melalui proses hukum oleh Soeharto dengan alasan terlibat PKI.

Sehari setelah mantan Presiden Soeharto dimakamkan, sejumlah warga kota Solo dan sekitarnya yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Kesejahteraan Rakyat mendatangi Kantor Kejaksaan
Negeri Solo. Mereka menolak masa berkabung nasional dan pengibaran bendera setengah tiang.Aliansi Masyarakat untuk Kesejahteraan Rakyat (Amuk Rakyat)—yang terdiri atas aktivis beberapa badan eksekutif mahasiswa (BEM) dari sejumlah perguruan tinggi dan aktivis lembaga swadaya masyarakat—juga mendesak kroni-kroni Soeharto yang terkait dengan pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) dan kasus korupsi segera diadili.

Para aktivis yang dipimpin Winarso, menemui Kepala Kejaksaan Negeri Solo Momock Bambang Soemiarso. Dalam pertemuan itu, Winarso menyerahkan pernyataan sikap Amuk Rakyat yang intinya menolak masa berkabung nasional tujuh hari dan pengibaran bendera setengah tiang. Alasannya, Soeharto tidak pantas mendapatkan penghormatan itu.

"Kasus-kasus Soeharto dan kroni-kroninya sampai saat ini belum jelas penyelesaiannya. Bagi kami, berkabung nasional tujuh hari hanya dikhususkan untuk pahlawan. Soeharto yang penuh dengan kasus apakah pantas disebut sebagai pahlawan," tutur Winarso.

Di Yogyakarta, ahli sejarah dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, FX Baskara T Wardaya, mengingatkan agar pemerintah tidak buru-buru memberi gelar pahlawan kepada mantan Presiden Soeharto. Sebab, ketokohan Soeharto masih menyisakan kontroversi, di samping sebagian besar masyarakat dipastikan tidak akan mendukung pemberian gelar.
Menurut Baskara, Soeharto tidak bisa digolongkan dalam kategori pahlawan nasional. Kematiannya bahkan menyisakan ketidakjelasan dalam hal sejarah, terutama menyangkut peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

Selain itu, Soeharto juga dinilai sebagai tokoh yang bertanggung jawab dalam peristiwa gerakan 30 September 1965. Peristiwa itu telah menyebabkan munculnya dua tragedi, yaitu terbunuhnya sejumlah jenderal dan pembantaian rakyat secara massal (Kompas, 30 Januari 2008)

Sejarawan Asvi Marwan Adam mengatakan, untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional ada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi selain masalah prosedural. Sesuai dengan ketentuan, orang yang dianugerahi pahlawan nasional harus berjasa dan tidak memiliki cacat dalam perjuangan. Dari

sisi tersebut, Soeharto tidak memiliki kriteria yang tidak cacat. Saat ini dia masih berstatus tersangka kasus dugaan korupsi di tujuh yayasan dan terindikasi melakukan pelanggaran HAM berat. Untuk kasus korupsi, Soeharto masih berurusan dengan peradilan perdata. Adapun kasus HAM,

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga sedang menindaklanjutinya. "Ini sangat berisiko mengangkat Soeharto sebagai pahlawan. Nanti bisa memalukan. Mengangkat tersangka korupsi dan pelaku indikasi pelangaran HAM berat akan merepotkan. Apalagi untuk mencabutnya

nanti juga susah," katanya

"Itu sangat berisiko tinggi. Sebab, misalkan gelar pahlawan sudah diberikan kepada Soeharto dan ternyata dia kemudian dinyatakan sebagai koruptor atau juga pelanggar HAM berat. Tentu pemerintah yang akan repot. Itu juga akan menjadi aib bangsa Indonesia. Masa gelar itu akan dicopot. Padahal, dalam sejarah, belum pernah ada gelar pahlawan dicopot," ujar Asvi di Jakarta,

Soeharto bukan pahlawan

Yayasan LBH Indonesia, yang diketuai oleh Patra M. Zen juga mengeluarkan pernyataan yang berisi sikap politik mengenai gelar pahlawan untuk Suharto ini, yang nada dan isinya sangat tajam. Dalam pernyataan tersebut dikatakan :

Berita kematian Soeharto pada 27 Januari 2008 menghiasi media massa nasional dan internasional. Beberapa media massa menampilkan dengan sangat berlebihan. Berlebihan, dalam arti mengajak pemirsa mengenang kembali 'jasa-jasa' penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu. Tayangan tersebut
berusaha menyeret simpati publik terhadap sosok Soeharto.

Sikap politik dan 'keberpihakan' terhadap Soeharto juga ditunjukkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Melalui Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa, pemerintah meminta rakyat Indonesia mengibarkan bendera merah-putih setengah tiang sebagai tanda berkabung selama tujuh hari berturut-turut. Sikap politik pemerintah terhadap Soeharto juga ditunjukkan dengan wacana berupa penyematan gelar pahlawan buat Soeharto.

Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) menilai sikap dan proses politik yang mengiringi kematian Soeharto yang ditunjukkan oleh pemerintah begitu gegabah dan berlebihan. Pasalnya, kita tahu, pada kematiannya di usia 86 tahun tersebut, Soeharto meninggal tanpa pernah diadili atas perbuatan-perbuatannya..

Kita patut mengerti, bahwa, Soeharto berpulang dalam kondisinya berlumuran darah atas perbuatan masa lalu di masa Orde Baru. Kasus pembantaian orang-orang yang dituduh Partai Komunis Indonesia (PKI) 1965, kasus penembakan misterius (Petrus), kasus Tanjung Priok, kebijakan daerah operasi militer di Aceh dan Papua, adalah contoh lumuran darah masa Soeharto.

Selain itu, perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang dilakukan oleh Soeharto dan keluarga serta kroni-kroninya, juga telah merusak mental bangsa Indonesia, selain memporak-porandakan bangunan ekonomi dan sosial bangsa Indonesia.

Karena itulah, YLBHI bersikap, sangat tidak patut dan layak, pemerintah memberikan predikat pahlawan kepada Soeharto. Ketidaklayakan itu didasarkan pada alasan bahwa secara hukum, Soeharto tidak bisa dikatakan bersalah maupun tidak bersalah, karena proses hukum atas perbuatannya tidak selesai. Demikian pernyataan YLBHI.
Tiada ma’af bagi Suharto

Kemarahan juga telah dilontarkan oleh Keluarga Alumni SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, organisasi di bawah pimpinan PRD), yang mengeluarkan pernyataan antara lain sebagai berikut :

“Bagaimana kami dan massa rakyat harus mengeja kata *"maaf"* dan *"mengenang jasa"* untuk orang seperti Soeharto? Mari kita buka kembali rentang panjang sejarah penindasan yang dialami rakyat Indonesia dan semua kekuatan yang berlawan dengannya. Adakah kita lupa bagaimana tanah-tanah rakyat petani direbut paksa demi kepentingan ekonomi para kroni Soeharto, contohnya di Tapos, Cilacap, Badega, Kedungombo, dan banyak lagi? Atau sudah lupakah kita pada pembunuhan aktivis buruh Marsinah dan penindasan terhadap kaum buruh lainnya? Sudah berapa ribu nyawa sekarat akibat digasak bayonet di Tanjung Priok, Lampung, Aceh, Papua, dan Timor Leste? Jutaan orang dijebloskan ke penjara pada tahun 1965 tanpa pengadilan berikut jutaan nyawa tak berdosa

melayang sebagai tumbal kekuasaan ekonomi dan politiknya? Rezim Soeharto, beserta kolaboratornya, dan juga rezim sesudahnya, tak sekalipun berucap * "maaf"* atas kebiadaban ini. Kini kita dibujuk untuk memberi maaf atas rezim yang membunuhi rakyatnya sendiri.

Sekali lagi, mari kita bertanya secara arif, berjasakah jika, Soeharto, yang menurut data Bank Dunia menempati urutan teratas pemimpin politik dunia terkorup yang selama 32 tahun berkuasa, telah berhasil menjarah bumi Indonesia dengan total harta mencapai USD 15-35 miliar. Sementara, dalam

rentang masa penjarahan itu, menghasilkan puluhan juta rakyat miskin dengan pendapatan hanya USD 1 per hari atau sekitar Rp 9.200). Dengan tangan besinya, Suharto tak segan-segannya membantai rakyat sendiri. Memaafkankah kita jika ingat pembantaian tahun 1965, Timor Leste, Aceh, Papua, Jenggawah, pembunuhan Marsinah, peristiwa 27 Juli 1996, dan masih banyak kasus lainnya

yang semuanya diselesaikan dengan pertumpahan darah dibawah kendali Soeharto.

Jelaslah hasil karya Soeharto yang paling nyata adalah pemiskinan rakyat yang luar biasa, penindasaan dan penghisapan terhadap kaum buruh yang juga luar biasa, barisan pengangguran yang tak kalah dahsyatnya, beserta juga kisah sebuah negeri, berikut kekayaan alamnya, dan harga diri rakyatnya yang telah digadai ke tangan kekuatan imperialisme. Soeharto, adalah peletak

dasar kolaborasi dengan para imperialis ini. Demikian antara lain Keluarga Alumni SMID.


Pernyataan Kal. SMID ini senafas dengan isi wawancara di televisi oleh Sukmawati Sukarnoputri yang mengungkap berbagai hal tentang perbedaan yang jauh sekali antara perlakuan terhadap Bung Karno ketika wafat dengan perlakuan terhadap Suharto. Dalam wawancara inilah Sukmawati juga mengeluarkan kata-kata yang tajam dan keras mengenai Suharto, dengan mengatakan bahwa “tiada ma’af Suharto” dan bahwa Suharto adalah pengkhianat (wawancara yang menarik dan penting ini bisa disimak kembali lewat Youtube http://www.youtube.com/watch?v=PXvh_4MdFyw&feature=related)

Dari sedikit bahan-bahan yang disajikan di atas nyatalah - dengan jelas sekali pula - bahwa Suharto memang tidaklah pantas sama sekali disebut sebagai pahlawan nasional. Bahkan, seperti yang sudah dikatakan Sukmawati dengan tegas, ia adalah pengkhianat !!!



Paris 3 Februari 2008
(Tulisan ini juga disajikan dalam website http://kontak.club.fr/index.htm)
Catatan A. Umar Said


Minggu, 20 Januari 2008

Pakta Kebangsaan

Sikap diri sebagai kader bangsa Indonesia

VISI

Pancasila dan Pembukaan Undang Undang Dasar 1945

MISI

Yang ke-1 : Bertekad turut serta mengawal “9” (sembilan) Pusaka Bangsa Indonesia yaitu (1) Bendera Sang Saka Merah Putih, (2) Sesanti Bhinneka Tunggal Ika, (3) Soempah Pemoeda 1928, (4) Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, (5) Pancasila, (6) Proklamasi Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945, (7) Undang-Undang Dasar 1945, (8) Wawasan Nusantara NKRI, (9) Jiwa, Semangat dan Nilai-nilai Kejuangan 45, berikut nilai-nilai luhur budaya nusantara yang adiluhung seperti kearifan lokal, nilai-nilai gotong royong, musyawarah mufakat, budi pekerti, dan lain sebagainya. [Acuan : Halaman 69 Prosiding Ikatan Cendekiawan Demokrat Indonesia 45, Diskusi Publik Jiwa Semangat Nilai Nilai Kejuangan 45 Roh Kenegarawanan, 19 Desember 2005]

Yang ke-2 : Bertekad turut serta mewaspadai “7” (tujuh) unsur-unsur Ketahanan Bangsa Indonesia yaitu (1) Kehidupan Keagamaan tidak Rawan, (2) Kehidupan Ideologis tidak Retak, (3) Kehidupan Politis tidak Resah, (4) Kehidupan Ekonomis tidak Ganas, (5) Kehidupan Sosial Budaya tidak Pudar, (6) Kehidupan HanKamNas tidak Lengah, (7) Kehidupan Ekologis tidak Gersang. [Acuan : Halaman 126, Pancasila Menjawab Globalisasi, R. Soeprapto, ISBN 979-96772-2-X, 2004]

Dan yang ke-“3” : Bertekad turut serta menumbuhkembangkan jiwa, semangat, nilai-nilai sikap Kepemimpinan Kebangsaan 45 yakni 4 (empat) sikap yang “demokratis, transparan dan terbuka, rasional, efisien dan efektif” dan 5 (lima) sikap yakni “Satia Haprabu (setia kepada Negara), Haniaken musuh (mengeliminir musuh yaitu disintegrasi), Tan Sa-tresna (setia kepada semua tanpa pilih kasih), Hing palagan hamungkasi (menyelesaikan tiap tugas perjuangan/pemba-ngunan sampai tuntas), dan Gineung Pratidina (setiap hari melatih diri, berolah jiwa, berolah pikiran dan berolahraga)”. [Acuan : Halaman 120 Materi Pendukung Pembudayaan Jiwa, Semangat Dan Nilai-nilai Kejuangan 45, DHN45, 2005, tentang “Kepemimpinan Kebangsaan Yang Mampu Mengemban Cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945”, DR H Roeslan Abdulgani]

Tema Program

Bertekad turut serta membangun kedigdayaan Negara bangsa dan karakter anak bangsa Indonesia menuju kemampuan bangsa dan Negara Indonesia yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat untuk mencapai kerakyatan yang Adil dan Makmur.

Jakarta, 10 Agustus 2006


Daftar Tatanilai PAKTA KEBANGSAAN
No Tatanilai Tersurat

Pusaka Bangsa Indonesia
Sang Saka Merah Putih 1292
Sesanti Bhinneka Tunggal Ika 1365
Soempah Pemoeda 1928
Lagu Kebangsaan Indonesia Raya 1928
Pancasila 1945
Proklamasi Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945
Undang Undang Dasar 1945
Wawasan Nusantara NKRI 1957
Jiwa, Semangat & Nilai-nilai Kejuangan 45


Ketahanan Bangsa Indonesia
Kehidupan Keagamaan tidak Rawan
Kehidupan Ideologis tidak Retak
Kehidupan Politis tidak Resah
Kehidupan Ekonomis tidak Ganas
Kehidupan Sosial Budaya tidak Pudar
Kehidupan HanKamNas tidak Lengah
Kehidupan Ekologis tidak Gersang


Kepemimpinan Kebangsaan 45

4 (empat) sikap
Demokratis
Transparan dan Terbuka
Rasional
Effisien dan Effektif

5 (lima) sikap
Setia kepada Negara
Mengeliminasi musuh yaitu DisIntegrasi
Setia kepada semua tanpa pilih kasih
Menyelesaikan tiap tugas perjuangan/pembangunan sampai tuntas
Setiap hari melatih diri berolahjiwa, berolah pikiran dan berolahraga


Syarat Indonesia Digdaya
Merdeka
Bersatu
Berdaulat
Adil
Makmur


Tatanilai Melekat

Soempah Pemoeda
Satu Nusa Indonesia
Satu Bangsa Indonesia
Satu Bahasa Indonesia


Lagu Kebangsaan Indonesia Raya 1928
Indonesia Bersatu
Indonesia Bahagia
Indonesia Abadi


Pancasila 1945
Ketuhanan Yang Maha Esa
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Persatuan Indonesia
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusya- waratan/Perwakilan
Keadilan Sosial


Hakekat Pancasila 1945
Kebenaran
Kebaikan
Kejujuran
Keadilan
Kebersamaan

Yang berdasarkan moral2 Ketuhanan Yang Maha Esa

Pembukaan UUD 1945
Kemerdekaan
Peri Kemanusiaan
Peri Keadilan
Berkat Rakhmat Allah Yang Maha Kuasa
Keinginan luhur
Berkehidupan Kebangsaan yang bebas
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
Memajukan Kesejahteraan Umum
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Melaksanakan Ketertiban Dunia yang berdasarkan Kemerdekaan, Perdamaian Abadi dan Keadilan Sosial


Batang Tubuh UUD 1945 (berungkapan Tatanilai Kenegaraan)

Penjelasan UUD 1945
Hukum Dasar Tertulis & Tidak Tertulis dan Cita-cita Hukum (rechtsidee)
Pemerintah dan lain-lain penyelenggara Negara wajib memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur
Semangat para penyelenggara Negara, semangat para pemimpin pemerintahan
Negara Indonesia berdasarkan atas Hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat)

Nilai2 Operasional Jiwa, Semangat & Nilai-nilai Joang 45
Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
Jiwa dan Semangat Merdeka
Nasionalisme
Patriotisme
Rasa harga diri sebagai bangsa yang merdeka
Pantang mundur dan tidak kenal menyerah
Persatuan dan Kesatuan
Anti Penjajah dan Penjajahan
Percaya kepada diri sendiri dan atau percaya kepada kekuatan dan kemampuan sendiri
Percaya kepada hari depan yang gemilang dari bangsanya
Idealisme kejuangan yang tinggi
Berani, rela dan ikhlas berkorban untuk tanah air, bangsa dan Negara
Kepahlawanan
Sepi ing pamrih rame ing gawe
Kesetiakawanan, senasib sepenanggungan dan kebersamaan
Disiplin yang tinggi
Ulet dan tabah menghadapi segala macam ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan

Kepemimpinan Pancasila 1945

[Tim Khusus Laboratorium Pancasila IKIP Malang, 1969]

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing2 menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
Hormat-menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut2 kepercayaan yang ber-beda2 sehingga terbina kerukunan hidup
Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya
Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain


Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia
Saling mencintai sesama manusia
Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepo seliro
Tidak se-mena2 terhadap orang lain
Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan
Berani membela kebenaran dan keadilan
Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lainnya


Sila Persatuan Indonesia
Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan
Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara
Cinta tanah air dan bangsa
Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia
Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber Bhinneka Tunggal Ika


Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Mengutamakan kepentingan Negara dan masyarakat
Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain
Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama
Musyawarah untuk mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan
Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah
Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur
Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harhat dan martabat manusia serta nilai kebenaran dan keadilan


Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Mengembangkan perbuatan2 yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong
Bersikap adil
Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban
Menghormati hak2 orang lain
Suka memberi pertolongan kepada orang lain
Menjauhi dikap pemerasan terhadap orang lain
Tidak bersikap boros
Tidak bergaya hidup mewah
Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum
Suka bekerja keras
Menghargai hasil karya orang lain
Ber-sama2 berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial


Ajaran Lima Pintu Utama

[Prabu Liman Senjaya Kusumah, negara Galuh Pakuan, 1545 M]
Semiaji (cerminan Kemanusiaan)
Bratasena (cerminan Persatuan)
Harjuna (cerminan Keadilan)
Nakula (cerminan Kerakyatan)
Sadewa (cerminan Ketuhanan)


Lima Bangunan Utama

[Prabu Susuk Tunggal, negara Soenda, 1345 M]
Bima Resi / Sadewa (pengaturan Tatacara & Pelaksanaan Keagamaan)
Punta Dewa / Bratasena (pengaturan Persatuan & Kesatuan Rakyat)
Narayana / Sri Kresna (pengaturan tegaknya Peri Kemanusiaan)
Madura / Kakak Sri Kresna (pengaturan hak2 Kerakyatan)
Suradipati / Harjuna (pengaturan Keamanan, Kesejahteraan, Keadilan)

Dirangkum oleh : DR Ir Pandji R. Hadinoto, MH / eMail : pakar45@yahoo.com

Politik Indonesia Digdaya

Teori filsuf Rene Descartes [1596 – 1650] “cogito ergo sum” (saya berpikir jadi saya ada) yang dianggap sumber legitimasi kelahiran sikap individualisme sejak tahun 1500an dan bermuara politik kolonialisme & liberalisme, diakui Prof Dr Jan Romijn sebagai manifestasi perilaku yang menyimpangi Pola Umum Kemanusiaan (Aera van Europe, 1954

Pendahuluan :

Tatanilai Kearifan Lokal Nusantara (TKLN) “Mamayu Hayuning Bawono” (MHB) yang bermakna “mengelola, menjaga dan melestarikan alam semesta untuk kepentingan kesejahteraan seluruh penghuni alam semesta termasuk manusia” adalah salah satu misi manusia hidup di dunia selain menjadi Khalifah Allah di bumi dan beribadah kepada Allah. MHB ini sesuai Firman Allah QS Huud (11) : 61 “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu memakmurkannya, QS Asy-Syura (26) : 183 “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya, dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan” dan QS Al-Ar’fat (7) : 56 “ Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya”. Salah satu wujud MHB kini yakni Konservasi Alamiah yang menjadi pilihan strategik bagi Climate Justice ketika Climate Change dan Global Warming muncul menjadi ancaman dunia akibat “penyakit” gas buangan CO2 secara berkelebihan. Namun di Bali, tempat masyarakat dunia berembug peta jalan penyelamatan lingkungan hidup, justru masyarakat adatnya telah memiliki terlebih dahulu kesadaran pelestarian lingkungan hidup melalui a.l. wujud upacara Nyepi yang ditenggarai berdampak hemat produksi gas buangan CO2 itu. Dengan kata lain TKLN sebenarnya telah secara bijaksana menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup. Identik dengan kebijakan luhur itu, maka seharusnya Konservasi Budaya TKLN dapat juga menjadi pilihan strategik untuk jadi perangkat obat “penyakit multi kompleks” masyarakat Negara yang sedang berkembang seperti yang kini dihadapi Indonesia a.l. maraknya Tindak Pidana Korupsi / rendahnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, rendahnya peringkat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia skala dunia, tingginya tingkat Populasi Kemiskinan – Kebodohan – Pengangguran, Ketidakmandirian Pangan – Sandang – Papan – Prasarana Umum, Kesenjangan Daya Saing Bangsa, Ketidakadilan & Ketidakpastian Hukum, Ketidakmerataan Kesejahteraan/ Keadilan Sosial, Kesadaran Daulat Pasar lebih daripada Daulat Rakyat, Keberpihakan Kepentingan Golongan lebih daripada Kepentingan Bangsa & Negara, Degradasi Orientasi Kebangsaan, terkuasainya mayoritas nilai ekonomis sumber2 daya alam, sumber daya telekomunikasi dan sumber daya lembaga perbankan & lalulintas keuangan oleh pihak asing, dlsb. Belajar dari lintasan budaya dan sejarah, maka Kepribadian Budaya TKLN yang diyakini bertumbuh sejak 20 abad sebelum Masehi itulah yang justru mendasari kekuatan bathiniah warga bangsa Indonesia memintasi masa penjajahan kolonialis sejak tahun 1602 sampai dengan tahun 1945, yang kini disebut sebagai Soft Power. Dan kemudian dikembangkan pada tahun 1945 sampai dengan 1949 sedemikian rupa oleh Budaya Joang 45 sebagai nilai tambah perjuangan bangsa guna meraih pengakuan Indonesia Berdaulat pada tanggal 27 Desember 1949. Sumbangan kecendekiawanan atau intelektualitas melalui dunia pendidikan diakui pula telah membangun kesadaran Semangat Kebangsaan Indonesia, berawal dari Boedi Oetomo oleh mahasiswa STOVIA, Batavia (kini Jakarta, 1908) yang berlanjut menjadi Politik Kebangsaan Indonesia melalui Soempah Pemoeda (Batavia,1928), sehingga mampu kemudian berakumulasi menjadi Proklamasi Indonesia Merdeka [17 Agustus 1945] dan berbekal Budaya Joang 45 ketika itulah maka Indonesia Berdaulat dapat lantas berpasangan dengan Indonesia Merdeka. Dengan kata lain, perangkat sistim pendidikan berkelanjutan yang dibentuk sejak 24 Pebruari 1817 dan bermodal dasar Budaya TKLN itu setidaknya terbukti menjadi bekal perjuangan Indonesia Merdeka yang Berkedaulatan. Sehingga dalam konteks kekinian, paling tidak pembekalan masyarakat tentang BTKLN khususnya Budaya Joang 45 seharusnya dapat diharapkan diperlakukan sebagai warisan luhur bangsa Indonesia yang dapat ekstra pro aktif, efektif, produktif dan konstruktif dijadikan perangkat cadangan strategis bagi sikap moral Kebangsaan menuju Indonesia Digdaya dengan skala “best fit” terbaik, sebagaimana Ramalan Jayabaya 2033 – 2100 M, sekaligus sebagai obat yang komprehensif guna mengatasi penyakit multi kompleks tersebut diatas, yang dalam skala tertentu dapat dianggap sebagai bentuk “penjajahan lain”. Artinya, saatnya kini, jelang tahun 2012 yang diterawang sebagai peralihan peradaban manusia, revitalisasi Soft Power itu strategik nilainya bagi keberlanjutan NKRI.

Budaya Joang abad-21 itu Pakta Kebangsaan :

Komponen Pakta Kebangsaan (PK) dirakit saat penyusunan Rekomendasi Lokakarya Nasional Wawasan Kebangsaan & Cinta Tanah Air bertempat diatas KRI Tanjung Nusanive 973 [Mei 2006] dan diluncurkan tanggal 10 Agustus 2006 bertempat di Gedung. DHN45, Jakarta. PK ini berkandungan 123 TKLN yang telah teruji dipergunakan oleh masyarakat di Indonesia dan bermanfaat mujarab, yakni Tatanilai Tersurat terdiri dari Pusaka Bangsa Indonesia (1) Sang Saka Merah Putih [1292], (2) Sesanti Bhinneka Tunggal Ika [1365], (3) Soempah Pemoeda [1928], (4) Lagu Kebangsaan Indonesia Raya [1928], (5) Pancasila [1945], (6) Proklamasi Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945, (7) Undang Undang Dasar 1945, (8) Wawasan Nusantara NKRI [1957], (9) Jiwa, Semangat & Nilai-nilai Joang 45; Ketahanan Bangsa Indonesia (10) Kehidupan Keagamaan tidak Rawan, (11) Kehidupan Ideologis tidak Retak (12) Kehidupan Politis tidak Resah, (13) Kehidupan Ekonomis tidak Ganas, (14) Kehidupan Sosial Budaya tidak Pudar, (15) Kehidupan HanKamNas tidak Lengah, (16) Kehidupan Ekologis tidak Gersang; Kepemimpinan Kebangsaan 45, 4 (empat) sikap (17) Demokratis, (18) Transparan dan Terbuka, (19) Rasional, (20) Effisien dan Effektif dan 5 (lima) sikap (21) Setia kepada Negara, (22) Mengeliminasi musuh yaitu DisIntegrasi, (23) Setia kepada semua tanpa pilih kasih, (24) Menyelesaikan tiap tugas perjuangan/ pembangunan sampai tuntas, (25) Setiap hari melatih diri berolahjiwa, berolah pikiran dan berolahraga; Syarat Indonesia Digdaya (26) Merdeka, (27) Bersatu, (28) Berdaulat, (29) Adil, (30) Makmur; berikut Tatanilai Melekat yaitu Soempah Pemoeda [1928] (31) Satu Nusa Indonesia, (32) Satu Bangsa Indonesia, (33) Satu Bahasa Indonesia; Lagu Kebangsaan Indonesia Raya [1928] (34) Indonesia Bersatu, (35) Indonesia Bahagia, (36) Indonesia Abadi; Pancasila [1945] (37) Ketuhanan Yang Maha Esa, (38) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, (39) Persatuan Indonesia, (40) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, (41) Keadilan Sosial; Hakekat Pancasila 1945 (42) Kebenaran, (43) Kebaikan, (44) Kejujuran, (45) Keadilan, (46) Kebersamaan, yang berdasarkan moral2 Ketuhanan Yang Maha Esa; Pembukaan UUD 1945 (47) Kemerdekaan, (48) Peri Kemanusiaan, (49) Peri Keadilan, (50) Berkat Rakhmat Allah Yang Maha Kuasa, (51) Keinginan luhur, (52) Berkehidupan Kebangsaan yang bebas, (53) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (54) Memajukan Kesejahteraan Umum, (55) Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, (56) Melaksanakan Ketertiban Dunia yang berdasarkan Kemerdekaan, Perdamaian Abadi dan Keadilan Sosial; Penjelasan UUD 1945 (57) Hukum Dasar Tertulis & Tidak Tertulis dan Cita-cita Hukum (rechtsidee), (58) Pemerintah dan lain-lain penyelenggara Negara wajib memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur, (59) Semangat para penyelenggara Negara, semangat para pemimpin pemerintahan, (60) Negara Indonesia berdasarkan atas Hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat); Nilai2 Operasional Jiwa, Semangat & Nilai-nilai Joang 45 (61) Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, (62) Jiwa dan Semangat Merdeka, (63) Nasionalisme, (64) Patriotisme, (65) Rasa harga diri sebagai bangsa yang merdeka, (66) Pantang mundur dan tidak kenal menyerah, (67) Persatuan dan Kesatuan, (68) Anti Penjajah dan Penjajahan, (69) Percaya kepada diri sendiri dan atau percaya kepada kekuatan dan kemampuan sendiri, (70) Percaya kepada hari depan yang gemilang dari bangsanya, (71) Idealisme kejuangan yang tinggi, (72) Berani, rela dan ikhlas berkorban untuk tanah air, bangsa dan Negara, (73) Kepahlawanan, (74) Sepi ing pamrih rame ing gawe, (75) Kesetiakawanan, senasib sepenanggungan dan kebersamaan, (76) Disiplin yang tinggi, (77) Ulet dan tabah menghadapi segala macam ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan; Kepemimpinan Pancasila 1945 [Tim Khusus Laboratorium Pancasila IKIP Malang, 1969] Sila-1 (78) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing2 menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, (79) Hormat-menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut2 kepercayaan yang ber-beda2 sehingga terbina kerukunan hidup, (80) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya, (81) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain, Sila-2 (82) Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia, (83) Saling mencintai sesama manusia, (84) Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepo seliro, (85) Tidak se-mena2 terhadap orang lain, (86) Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, (87) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, (88) Berani membela kebenaran dan keadilan, (89) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lainnya, Sila-3 (90) Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan, (91) Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara, (92) Cinta tanah air dan bangsa, (93) Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia, (94) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber Bhinneka Tunggal Ika, Sila-4 (95) Mengutamakan kepentingan Negara dan masyarakat, (96) Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, (97) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, (98) Musyawarah untuk mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan, (99) Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah, (100) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur, (101) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harhat dan martabat manusia serta nilai kebenaran dan keadilan, Sila-5 (102) Mengembangkan perbuatan2 yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong, (103) Bersikap adil, (104) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, (105) Menghormati hak2 orang lain, (106) Suka memberi pertolongan kepada orang lain, (107) Menjauhi dikap pemerasan terhadap orang lain, (108) Tidak bersikap boros, (109) Tidak bergaya hidup mewah, (110) Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum, (111) Suka bekerja keras, (112) Menghargai hasil karya orang lain, (113) Ber-sama2 berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial; Ajaran Lima Pintu Utama [Prabu Liman Senjaya Kusumah, Galuh Pakuan, 1545 M] (114) Semiaji (cerminan Kemanusiaan), (115) Bratasena (cerminan Persatuan), (116) Harjuna (cerminan Keadilan), (117) Nakula (cerminan Kerakyatan), (118) Sadewa (cerminan Ketuhanan); Lima Bangunan Utama [Prabu Susuk Tunggal, Soenda, 1345 M] (119) Bima Resi / Sadewa (pengaturan Tatacara & Pelaksanaan Keagamaan), (120) Punta Dewa / Bratasena (pengaturan Persatuan & Kesatuan Rakyat), (121) Narayana / Sri Kresna (pengaturan tegaknya Peri Kemanusiaan), (122) Madura / Kakak Sri Kresna (pengaturan hak2 Kerakyatan), (123) Suradipati / Harjuna (pengaturan Keamanan, Kesejahteraan, Keadilan). Dengan ingredient layaknya jamu atau obat lokal tersebut diatas, diharapkan terbentuk penjuru bagi para negarawan pejuang Indonesia memintasi waktu menuju Indonesia Digjaya tahun 2100 dengan Budaya Joang yang handal ketika mengarungi ancaman, hambatan, gangguan & tantangan akibat dampak politik globalisasi.

Ramalan Jayabaya pengganti GBHN :

Pertanda zaman sebagai warisan luhur TKLN ini terbagi dalam 3 (tiga) zaman besar atau Trikali, masing2 berjangka waktu 700 tahun yaitu Kali-swara, kali-yoga dan kali-sangara. Setiap zaman besar terbagi atas 7 (tujuh) zaman kecil atau Saptala kala, yang masing2 berdurasi 100 tahun. Sedangkan tiap zaman kecil terdiri dari 3 (tiga) masa kala yang berumur 33 – 34 tahun. Dan Indonesia kini berada di jangka waktu tahun 2001 – 2100 atau disebut Kala-surasa (warga bangsa hidup dalam suasana aman, damai, adil dan sejahtera, dengan catatan rentang2 tahun 2001 – 2033 disebut Masa-kala-daramana (warga bangsa hidup rukun dan pemaaf tersebab oleh semakin meluasnya wawasan hidup), tahun 2033 – 2066 disebut Masa-kala-watara (warga bangsa lebih mengedepankan hidup sederhana daripada kemewahan tersebab semakin meratanya kemakmuran), dan tahun 2066 – 2100 disebut Masa-kala-isaka (warga bangsa dapat menikmati hidup rukun, tenteram, aman, damai, adil dan sejahtera tersebab meningkatnya kesadaran akan arti pentingnya pegangan hidup). Kekayaan bangsa berupa Ramalan Jayabaya ini adalah Rakhmat Tuhan YMK, seperti juga Merah Putih sebagai panji kesatuan balatentara [Singosari, 1292] sampai dengan Wawasan Nusantara [NKRI, 1957], termasuk peralihan rezim kekuasaan penyelenggara Negara pada tahun2 1966 dan 1998.

Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa :

Kalau Bank of South telah diprakarsai sebagai aksi nyata kebangkitan negara2 Amerika Latin menjawab kemandirian sebagai perlawanan terhadap politik globalisasi, maka Indonesia Bangkit kini seharusnya muncul tidak sekedar wacana, tekad dan pernyataan semata apalagi janji. Bermodalkan penjuru kejuangan bernama Pakta Kebangsaan itulah, diharapkan para elite pimpinan pusat dan daerah pilihan rakyat dapat lebih mampu memiliki keberanian guna membentuk aksi nyata berupa paket2 kebijakan (politik hukum), misalnya, yang lebih pro daulat rakyat ketimbang lebih pro daulat investor asing. Khusus bagi Indonesia, pilihan lebih pro rakyat itu adalah sikap kemuliaan sebagai politisi publik, mengingat dari pembelajaran lintasan budaya dan sejarah Indonesia, benang merah berupa Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa itu sungguh nyata kehadirannya, para spiritualis Indonesia dapat dimintakan nasehat mengenai kebenaran hal ini. Artinya, pernyataan tersebut di Pembukaan UUD 1945 tidaklah sekedar kalimat hukum tanpa roh, namun sungguh sebagai buah kajian dan kesimpulan nalar dan bathin para Bapak Bangsa Indonesia [1945]. Artinya, kepada para elite politisi publik itu kini dituntut mata bathinnya guna mengakomodasi aspirasi rakyat pemilihnya, sebagai penghormatan atas peringatan Indonesia Berdaulat tanggal 27 Desember 1949, memasuki tahun kritis 2008 yang faktanya dihantui oleh ketidakmanfaatan fluktuasi harga minyak mentah dunia bagi Indonesia pasca keberlakuan UU MiGas 2001 beserta perUUan turunannya dan proyeksi tebar pesona perebutan kekuasaan elite politikus. Dengan kata lain, setiap penyimpangan sikap terhadap Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa bagi Indonesia sejak peradaban bangsa Indonesia yang terbangun 20 abad SM, adalah sikap pengkhianatan. Oleh karena itulah, keberadaan Pakta Kebangsaan bermuatan 123 TKLN itu dirangkum dengan maksud dan tujuan guna menyegarkan dan meluruskan kembali sikap nalar dan bathin para politikus pembijak publik di Indonesia sekaligus sebagai aksi nyata bagi rekayasa sosial Politik Indonesia Digdaya.

Individualisme itu penyimpangan Pola Umum Kemanusiaan :

Almarhum Prof MR Soediman Kartohadiprojo, mantan anggota Komisi Besar Indonesia Muda, 25 Mei 1929, dalam bukunya Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila [Desember 1969], khususnya Bab X Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia dan Filsafat Pancasila, mengungkapkan pernyataan Prof DR Jan Romejn (De Europese Geschiedenis als Afwijking van het Algemeen Menselijk Patroon, 1954) bahwa perilaku “man become a spiritual individual” warga benua Eropa diakui telah menyimpangi Pola Umum Kemanusiaan (Algemeen Menselijk Patroon) sejak tahun 1500an, karena berpikiran lebih bertitikberat mengikuti rasa atau pemikiran irrasionil. Cara berpikir ini diterapkan pada pergaulan hidup manusia yang membawa suatu pandangan bahwa manusia dilahirkan bebas, satu individu terpisah dari individu lainnya, masing2 dengan kepribadiannya, dengan kepentingannya, dengan kekuasaannya sendiri2. Manifestasi pemikiran ini digambarkan dengan baik oleh filsuf Rene Descartes [1596 – 1650] “cogito ergo sum” (saya berpikir jadi saya ada). Dari pengalaman empiris, perilaku individiualisme ini bermuara kebijakan kolonialisme dan liberalisme yang berujung seperti politik gun-boat, forced-buying, devide-et-impera dan kini berkembang a.l. neo-kolonialisme, neo-liberalisme berujung politik pre-emptive-strike. Pemahaman hadirnya perilaku penyimpangan dapat mendasari logika kenapa misalnya Statuta VOC [1602] bermuatan kontroversial yakni hak berdagang sekaligus hak berkekuasaan sebagai Negara di seberang lautan. Artinya, perilaku menyimpang ini kini seharusnya tidak patut lagi dikembangkan lebih lanjut berikut turunannya didalam kerangka harmonisasi pergaulan peradaban global abad-21, termasuk pengelolaan Climate Justice dlsb. Apalagi perilaku individualisme yang menyimpang ini sangat boleh jadi muncul secara situasional akibat tekanan keterputusan dari kebiasaan menikmati rempah2 Indonesia pasca tidak berfungsinya Konstatinopel [1453].

Kepemimpinan Politik Hukum Indonesia :

Tradisi peradaban leluhur dalam kerangka cipta-rasa-karsa TKLN, berwujud politik hukum nusantara, pertanda bukti ciri kepemimpinan berskala dunia, seperti ikhwal hak2 dasar manusia atau Hak Asasi Manusia [HAM] yang secara konstitusional telah tercantum di Prasasti Telaga Batu [682 Masehi] yakni a.l. kalimat “…baik jikalau kamu orang rendah, menengah ataupun orang bertingkatan tinggi…” yang setara dengan makna Persamaan atau Equality sesuai paham Human Rights. Prasasti Telaga Batu itu diyakini sebagai Naskah Konstitusi Kedatuan Sriwijaya [Moh. Yamin, Tatanegara Majapahit, Sapta Parwa III, 1962]. Dengan kata lain, kita perlu bersyukur bahwa ternyata peradaban Indonesia modern telah lebih dulu kenali tentang hak2 dasar manusia itu ketimbang peradaban2 modern di Inggris pasca Magna Charta [15 Juni 1215], Amerika bertanda Declaration of Independence [6 Juli 1776] dan Eropa bertonggak Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen [4 Agustus 1789], sebagai pertanda yang dikenali kemudian dengan istilah mendunia kini yaitu Human Rights. Demikian pula, Trias Politika Trayaratna [Majapahit, abad-14] ternyata lebih tua daripada Trias Politika John Locke [1690] dan Montesquieu [1748]. Seloka Bhinneka Tunggal Ika [Majapahit, abad-14] daripada E Pluribus Unum [Amerika Serikat, abad-18]. Kompilasi Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa [Gowa-Tallo, 1626] sebaya dengan praktek Anggaran Dasar VOC [1602]. Naskah Siksa Kanda Karesian [Pajajaran, 1518] yang a.l. Memuat ragam siasat tempur, lebih tua daripada praktek rekayasa tempur kolonialis Portugis, Spanyol dan VOC di bumi persada Nusantara, dlsb. Prakarsa Konperensi Asia Afrika [Bandung, 1955] adalah juga puncak peradaban kepemimpinan politik hukum Indonesia buah pemahaman yang mendalam tentang TKLN. Oleh karena itulah, yang ditunggu oleh rakyat Indonesia kini adalah paket2 kebijakan publik berkualitas kepemimpinan politik hukum Indonesia, khususnya tahun 2008, tidak sekedar pengekor atau “follower” terhadap kepentingan politik globalisasi, karena era globalisasi sudah pernah menjadi pengalaman empiris Nusantara sejak sebelum abad 1 Masehi sampai tahun 1453 ketika Jalur Sutera berhasil terselenggara secara harmonis a.l. mengantarkan produk unggulan Nusantara seperti rempah2 menjadi salah satu mata dagangan utama antar benua. Dengan kata lain, kepemimpinan politik hukum Indonesia di dunia jilid abad-21 adalah sepantasnya kini menjadi kemutlakan yang wajar dikreasikan oleh para pembijak publik menuju Indonesia Digdaya, sehingga kelak terhindarkan, misalnya, kemunculan istilah komprador seperti di Nusa Dua, Bali [COP-13, Desember 2007]. Dengan sendirinya, kualitas kepemimpinan pembijak publik adalah menjadi tidak sekedar managerialship tetapi leadership bahkan Guru Bangsa dan/atau Negarawan PETA (Pejuang Tanpa Akhir). Sekaligus saatnya kini diharapkan juga sikap Kepemimpinan generasi Indonesia Muda 2008 berbudaya joang Pakta Kebangsaan sehingga dapat lebih siap merebut iklim kebijakan harmonisasi atas politik globalisasi, saat hadapi keserentakan akan hadirnya peralihan peradaban manusia pasca tahun 2012 yad.
Jakarta, 14 Desember 2007

oleh : Pandji R. Hadinoto, DHN45, Pengamat Politik Hukum Indonesia, eMail : pakar45@yahoo.com