Rabu, 06 Februari 2008

Sesudah Suharto meninggal

Sesudah Suharto dikuburkan di Astana Giribangun dengan upacara yang terasa bagi banyak orang berlebih-lebihan, dan sesudah sekitar tiga minggu pers dan televisi menjejali masyarakat dengan berbagai siaran - yang juga dengan cara-cara yang “kebablasan” - mengenai sakitnya dan kemudian mengenai meninggalnya, maka sekarang orang mulai bertanya-tanya apa saja yang akan terjadi selanjutnya. Umpamanya : apa yang akan terjadi dengan berbagai perkara anak-anaknya, bagaimana kelanjutan proses hukum tentang kasus 7 yayasan, apa jadinya dengan kasus laporan PBB dan Bank Dunia tentang harta yang dicurinya, dan apakah kesalahan dan dosa-dosanya bisa dima’afkan rakyat, atau, apakah ia bisa diangkat sebagai “pahlawan nasional” ? Atau, apakah Suharto adalah orang yang perlu atau pantas dihormati karena sudah “berjasa besar”? Atau, lainnya lagi, apakah Suharto seorang “negarawan yang terhormat”?

Bukan hanya itu saja, melainkan masih banyak sekali soal-soal besar dan parah, yang ditinggalkan sebagai warisan Suharto, yang harus dihadapi rakyat dan negara. Jadi, persoalan Suharto tidak habis dengan dikuburkannya di Giribangun, tetapi masih akan mempunyai buntut yang panjang sekali.Sebab, persoalan Suharto adalah persoalan yang besar, serius, dan menyangkut banyak masalah, dan yang kebanyakan menjadi masalah yang sangat kontroversial.

Makin jelas : Orde Baru jilid II

Satu hal yang patut menjadi perhatian kita semua adalah bahwa dengan “hiruk pikuk” selama lebih dari 3 minggu selama ia sakit sampai meninggalnya pada tanggal 27 Januari, para Suhartois dan para pendukung Orde Baru telah membuang kedok mereka dengan terang-terangan menyatakan masih menaruh simpati yang besar dan hormat yang tinggi kepada orang yang selama ini sudah dikutuk atau dihujat oleh banyak orang, baik di Indonesia maupun di kalangan internasional. Dan mereka ini terdiri dari “tokoh-tokoh” penting di bidang eksekutif, legislatif, judikatif, partai-partai politik, kalangan agama, dan militer di negeri kita.

Dari serentetan peristiwa yang berkaitan dengan sakitnya sampai meninggalnya Suharto sudah nampak dengan jelas sekali bahwa pengaruh Orde Baru masih kuat sekali di kalangan “elite” negeri kita, dan bahkan sebagian besar kekuasaan politik (dan media !) ada di tangan para simpatisan Suharto. Fenomena ini, sekali lagi, dan untuk kesekian kalinya, menunjukkan dengan jelas bahwa pada pokoknya, atau pada intinya, pemerintahan di negeri kita dewasa ini, adalah Orde Baru jilid dua. Ini adalah masalah penting (dan serius !) , yang patut jadi pegangan kita dalam membaca situasi dan melakukan berbagai kegiatan demi perbaikan kehidupan bangsa dan negara kita.

Dengan kacamata yang demikian maka kita bisa melihat lebih jernih bagaimanakah sebenarnya pemerintahan SBY-JK, dan bagaimana pulakah Golkar yang merupakan kekuatan politik dominan yang banyak menduduki pos-pos penting dalam bidang eksekutif, legislatif, judikatif ( dan militer !). Dengan kacamata yang begini kita bisa juga melihat bahwa ucapan presiden SBY pada upacara di Giribangun tentang Suharto adalah sepenuhnya bernafaskan Orde Baru ( Kalimatnya : “Kita telah kehilangan putra terbaik bangsa, seorang pejuang setia, prajurit sejati dan seorang negarawan terhormat Dengan jujur dan hati yang bersih, kita patut mengakui begitu banyak jasa yang almarhum berikan kepada bangsa dan negara” – Gatra 28 Januari).

Dengan kalimat SBY yang lain “yang meminta seluruh bangsa Indonesia agar berjiwa besar dan tulus memberikan terimakasih dan penghargaan yang tinggi atas darma bakti Suharto kepada bangsa dan negara, maka nyatalah bahwa seruannya ini (sama dengan yang dilontarkan oleh banyak simpatisan-simpatisan Suharto lainnya, terutama dari kalangan Golkar) adalah bertentangan sama sekali dengan aspirasi rakyat yang menuntut diadilinya Suharto karena dosa-dosanya yang banyak dan besar.

Suharto dan Golkar adalah satu dan senyawa

Dengan kacamata yang demikian itu pulalah kita bisa melihat mengapa Ketua DPR Agung Leksono, yang juga pimpinan utama Golkar juga bicara muluk-muluk tentang Suharto dalam upacara di jalan Cendana, dan mengapa pimpinan fraksi Golkar di DPR berusaha dengan getol mengusulkan supaya Suharto diberi gelar pahlawan nasional. Sebab, Suharto adalah orang penting (ketuanya) dalam Dewan Pembina Golkar, dan selama puluhan tahun menjadi “pemilik” atau “penguasa” Golkar. Dalam kaitan ini maka bisalah kiranya diibaratkan bahwa Suharto adalah Golkar atau bahwa Golkar dan Suharto adalah satu dan senyawa. Atau untuk lebih jelas lagi, yaitu bahwa Suharto dan Golkar dan Orde Baru adalah satu.

Karena masih kuatnya orang-orang Suhartois dalam berbagai bidang pemerintahan itulah maka kita bisa mengerti bahwa tuntutan untuk mengadili Suharto tadinya (sebelum ia meninggal) mendapat begitu banyak halangan, dan sekarang pun masih sulit untuk mengusut perkara 7 yayasannya atau mengembalikan harta yang dicurinya (menurut program PBB dan Bank Dunia StAR Initiative). Malahan, diberitakan bahwa dalam sidang konferensi UNCAC di Bali , delegasi Indonesia-lah yang justru menghalang-halangi dibicarakannya soal korupsi Suharto dalam konferensi itu (Jawapos 29 Januari)

Dari segi ini kita bisa melihat bahwa bagi Golkar (dan pendukung-pendukung Orde Baru lainnya yang terdapat di berbagai kalangan), membela nama baik Suharto adalah sangat penting untuk menjaga kepentingan mereka sendiri, mengingat begitu eratnya hubungan antara Suharto dengan Golkar. Jatuhnya nama Suharto atau rusaknya citranya adalah satu hal yang sama sekali tidak menguntungkan Golkar bahkan ikut juga merusaknya. Oleh karena itu, dengan berbagai cara dan jalan, Golkar dan para Suhartois lainnya berusaha sekuat mungkin supaya Suharto jangan sampai dituntut pengadilan atau dicemarkan namanya.

Gelar “pahlawan nasional” untuk Suharto

Untuk tujuan ini, antara lain, maka diusahakan supaya proses hukum terhadap Suharto dihentikan, atau supaya perkaranya di-deponir, atau dibatalkan, dengan alasan sakit permanen, atau karena usia lanjut, atau dima’afkan kesalahan-kesalahannya karena “mengingat jasa-jasanya”. Dengan tujuan yang searah ini pulalah maka Golkar melontarkan kampanye pembentukan opini umum tentang perlunya Suharto diberi gelar pahlawan nasional. Sebab, kalau gelar pahlawan nasional itu berhasil diraih untuk Suharto, maka akan makin sulitlah usaha untuk menuntut diadilinya dosa-dosa yang begitu banyak telah dibuatnya. Jadi, gelar pahlawan nasional itu bukan hanya menyelamatkan nama baik Suharto saja, melainkan juga juga kepentingan menyelamatkan citra Golkar dan para Suhartois umumnya. Gelar pahlawan nasional kepada Suharto adalah “perisai” atau “payung” bagi Golkar dan para Suhartois lainnya, untuk menyelamatkan diri dari hujatan banyak orang.

Dengan kacamata bahwa pemerintahan dewasa ini adalah Orde Baru jilid dua, maka kita akan bisa melihat bahwa perspektif tentang situasi negara dan bangsa kita di masa datang yang dekat ini sama sekali tidaklah cemerlang. Kerusakan moral dan pembusukan mental di kalangan para pejabat dan kalangan elite, yang sudah berjalan puluhan tahun (!!!) akan diteruskan oleh orang-orang Orde Baru jilid dua ini. Seperti yang bisa sama-sama kita saksikan, apa yang buruk di jaman Orde Baru akan terus berlangsung, dalam bentuk dan cara baru, dan dengan kadar yang baru juga.

Kita sudah sama-sama melihat bahwa banyak soal parah yang diwariskan oleh Orde Baru tidak atau belum bisa diatasi atau dipecahkan, bahkan banyak yang tambah makin parah.Korupsi besar-besaran malahan makin menjadi-jadi (ingat kasus-kasus yang terbaru : kasus pimpinan Bank Indonesia dan anggota-anggota DPR yang tersangkut dengan dana BLBI, kasus mantan Letnan Jenderal dan Menteri Dalamnegeri Hari Sabarno soal pengadaan mobil-mobil pemadam kebakaran). Pengangguran dan kemiskinan masih tetap merupakan sumber penderitaan rakyat banyak. Angka kemiskinan malah meningkat dari 35 juta dalam tahun 2005 menjadi 39 juta dalam tahun 2007 (Tempo Alternatif 31 Januari 2008).

Dengan GOLKAR tidak akan ada perubahan besar

Dengan adanya kekuaaan politik yang pada pokoknya masih dikuasai oleh orang-orang Orde Baru jilid dua sekarang ini, maka tidak banyak yang bisa diharapkan dari mereka adanya perubahan-perubahan besar dan fondamental untuk perbaikan kehidupan rakyat banyak, terutama rakyat miskin yang jumlahnya puluhan juta keluarga ini. Keadaan yang demikian ini akan tetap berlangsung terus, selama orang-orang Suhartois masih menduduki pos-pos penting di berbagai bidang pemerintahan. Singkatnya, dari para Suhartois sama sekali tidaklah bisa diharapkan adanya perbaikan besar untuk kehidupan rakyat banyak.

Kalau Golkar (dan kalangan Suhartois lainnya) sudah terbukti – dengan jelas pula ! - tidak bisa berbuat banyak untuk perbaikan hidup orang banyak selama 32 tahun Orde Baru ditambah 10 tahun pasca-Suharto, maka tidaklah ada alasan bagi kita semua untuk bisa percaya bahwa dalam masa dekat ini mereka akan bisa berbuat lebih baik lagi dari pada yang sudah-sudah. Malahan sebaliknya, situasi akan makin parah di berbagai bidang. Banyak tanda-tandanya sudah bisa kita baca mulai sekarang.

“Arus balik” perlawanan terhadap Orde Baru jilid II

Karenanya, kita semua patut gembira bahwa sesudah meninggalnya Suharto, maka akhir-akhir ini muncul tanda-tanda tentang adanya “arus balik”, yang berupa perlawanan keras dari banyak kalangan masyarakat terhadap Orde Baru jilid dua. Arus balik perlawanan ini bukan hanya berupa penolakan terhadap seruan para Suhartois untuk mema’afkan algojo pembunuhan besar-besaran terhadap jutaan orang tidak bersalah apa-apa atau pencuri uang rakyat nomor satu di dunia ini, melainkan juga perlawanan politik, yang antara lain berupa penolakan untuk mengibarkan bendera setengah tiang, atau penampikan usul untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepadanya.

Yang lebih menggembirakan lagi adalah kenyataan bahwa “arus balik perlawanan” terhadap Orde Baru jilid dua ini lahir dari berbagai kalangan yang luas sekali, dan bukan lagi hanya terdiri dari para korban Orde Baru saja atau golongan “kiri” lainnya, melainkan juga terdiri dari kalangan-kalangan lainnya dalam masyarakat. Mereka telah membentuk berbagai macam organisasi front bersama, ada yang dinamakan Aliansi Rakyat Mengadili Suharto, ada yang dengan nama Kesatuan Rakyat Adili Suharto (KERAS). Ada yang di Solo .menamakan dirinya AMUK RAKYAT (Aliansi Rakyat untuk Kesejahteraan Rakyat)

Dalam berbagai organisasi front luas ini ambil bagian bermacam-macam organisasi, yang terdiri dari kaum intelektual, seniman, ahli hukum, buruh, tani, perempuan, rakyat miskin dll. Yang paling menggembirakan ialah adanya kegiatan atau aksi-aksi yang banyak dilakukan oleh generasi muda, yang terdiri dari kalangan mahasiswa atau kalangan pemuda lainnya.

Di Bali dalam demo yang diadakan oleh berbagai organisasi mahasiswa telah dibagi-bagikan pernyataan yang berisi tuntutan supaya kasus korupsi Soeharto terus diusut hingga ke kroni-kroninya. “Tidak ada alasan untuk menghentikan apalagi hanya karena ingin memberi gelar pahlawan,” tegas Hasan yang menjadi Korlap aksi itu. Poster yang dibuat antara lain bertuliskan, “Adili kroni Soeharto”, “Tidak ada Kata Maaf untuk Pelanggar HAM”, dan lain-lain.

Di Semarang para mahasiswa menyatakan menolak keras jika pemerintah memberikan gelar pahlawan kepada mendiang mantan Presiden RI Suharto. Mahasiswa menilai, “Suharto bukanlah sosok pahlawan yang berhasil membawa bangsa ini ke arah yang benar dan mensejahterakan rakyat”

Tampilnya generasi muda adalah menggembirakan

Aksi-aksi yang serupa atau searah jiwanya telah diadakan juga oleh berbagai kalangan (terutama generasi muda) di Jakarta, di Solo, di Jogya, di Medan dll Tampilnya generasi muda dalam banyak aksi-aksi perlawanan terhadap Orde Baru jilid dua dan penolakan terhadap usul-usul untuk pemberian gelar pahlawan kepada Suharto adalah penting, baik untuk dewasa ini maupun untuk masa datang. Masa depan bangsa dan negara kita adalah di tangan mereka, di samping pentingnya peran golongan-golongan lain dalam masyarakat. Kebangkitan generasi muda sekarang ini adalah investasi yang berharga bagi rakyat di kemudian hari. (Harap baca « Kumpulan berita » dalam rubrik Sesudah Suharto meninggal dan Meninggalnya mantan presiden Suharto di website http://kontak.club.fr/index.htm ).Mengingat hal-hal itu semua, maka menjadi makin jelaslah bahwa perjuangan bersama dari seluruh kekuatan demokratis di Indonesia melawan Orde Baru jilid dua menjadi satu dengan perlawanan terhadap usul diberinya gelar pahlawan nasional kepada Suharto, dan perlawanan terhadap perma’afan terhadap segala dosa-dosanya yang besar di bidang HAM dan KKN. Melawan bersama-sama - dengan segala cara dan bentuk - terhadap Orde Baru jilid dua yang masih tetap didominasi oleh kekuatan-kekuatan pro Suharto (baca : terutama Golkar dan sebagian dari militer) adalah satu-satunya jalan untuk menuju tercapainya perubahan-perubahan fondamental bagi kehidupan rakyat banyak, terutama rakyat miskin.

Singkatnya dan jelasnya, akan sama-sama kita saksikan, nantinya, bahwa negara dan bangsa Indonesia akan bisa mengadakan perubahan-perubahan besar hanya kalau para Suhartois (dalam Golkar dan kalangan-kalangan lainnya) sudah dapat disingkirkan dari kekuasaan politik. Hanya kekuasaan politik di tangan kekuatan-kekuatan demokratis yang benar-benar pro-rakyatlah yang akan bisa menciptakan perubahan-perubahan besar di Indonesia, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman berbagai negeri di Amerika Latin dewasa ini..

Paris, 31 Januari 2008
Catatan A. Umar Said
(Tulisan ini juga disajikan dalam website http://kontak.club.fr/index.htm)

Suharto bukanlah pahlawan !!!

 Tulisan ini dimaksudkan guna mengajak para pembaca untuk bersama-sama merenungkan adanya suara-suara ( terutama dari tokoh-tokoh Golkar) yang mengusulkan supaya Suharto diberi gelar pahlawan nasional sesudah ia meninggal. Sebab, usul yang demikian ini menunjukkan bahwa perlu diragukan kejernihan nalar orang-orang yang mengusulkannya, atau, dengan kalimat lainnya, pantas disangsikan akan kesehatan cara berfikir mereka. Adanya usul atau fikiran yang segila itu, menunjukkan bahwa ada sebagian dari “ kalangan elite” di negeri kita yang sedang diserang penyakit rochani yang akut.

Sebab, gagasan atau usul untuk memberikan gelar “pahlawan nasional” kepada Suharto itu bukan saja merupakan tantangan yang tidak tanggung-tanggung atau provokasi besar sekali bagi banyak kalangan di negeri kita (dan juga kalangan internasional) tetapi juga membikin makin ruwetnya berbagai masalah Suharto yang selama ini memang sudah ruwet dan juga rumit. Usul gila ini merupakan salah satu di antara serentetan panjang blunder (kesalahan besar) dari Golkar yang sudah sering dilakukan selama berpuluh-puluh tahun.

Usul Golkar (dengan dukungan para Suhartois lainnya dalam berbagai kalangan, terutama dari kalangan militer) untuk memberi gelar pahlawan kepada Suharto menunjukkan bahwa Golkar -- yang sekarang mendominasi kekuasaan politik dalam Orde Baru jilid II dewasa ini -- menyangka bahwa meninggalnya Suharto merupakan kesempatan baik untuk “mengembalikan” nama baik dan kehormatannya, yang sudah rusak atau anjlok sejak turunnya sebagai presiden dalam tahun 1998.

Rusaknya atau anjloknya nama dan kehormatan Suharto adalah akibat dari berbagai politiknya menjalankan rejim militer Orde Baru dan banyak kejahatannya di bidang HAM dan KKN.

Golkar, yang selama 32 tahun merupakan alat utama Suharto (ditambah militer) dalam menguasai sepenuhnya pemerintahan tangan besi Orde Baru, berkepentingan sekali bahwa Suharto dapat “merebut” kembali nama baik dan kehormatannya. Oleh karena adanya hubungan yang erat sekali antara Golkar dan Suharto maka kehancuran nama dan “kehormatan” Suharto bisa juga menyebabkan kemerosotan “nama baik dan kehormatan” Golkar.



Pimpinan Golkar sekarang, kelihatan salah perhitungan atau keliru sekali membaca situasi, dengan mengajukan usul pemberian gelar pahlawan nasional kepada Suharto. Karena, usul ini telah menuai banyak reaksi keras yang mencerminkan dengan jelas kemarahan dan juga membangkitkan perlawanan dari banyak kalangan (Harap simak juga “Kumpulan berita” di rubrik “Meninggalnya mantan presiden Suharto’ dan “Sesudah Suharto meninggal”).

Perlawanan keras dari berbagai kalangan (terutama dari kalangan generasi muda) terhadap usaha-usaha kekuatan Orde Baru jilid II untuk memberi gelar pahlawan kepada Suharto ini merupakan peristiwa yang cukup penting dalam sejarah gerakan perlawanan rakyat terhadap kekuatan Suhartois. Bisa diharapkan bahwa gerakan perlawanan yang sekarang ini akan berkembang terus kemudian sehingga merupakan kelanjutan dari gerakan besar-besaran dalam tahun 1998 yang bersejarah itu dan yang membikin jatuhnya kekuasaan Suharto sebagai presiden.

Cuplikan dari beberapa di antara reaksi keras tersebut di bawah ini kiranya cukup jelas untuk mengukur suhu atau derajat kemarahan berbagai kalangan terhadap usul gila ini :

Reaksi keras dari kalangan muda

 Sejumlah aktivis gerakan mahasiswa angkatan 1977/1978 menolak rencana pemerintah untuk memberikan gelar pahlawan kepada mantan presiden Soeharto. “Sampai sekarang kejahatan kemanusiaan Soeharto belum disentuh. Pemberitaan yang berlebihan tentang prestasi dan jasa Soeharto, dirasakan tidak adil dan melukai hati para korban kebijakan Soeharto. Seperti dalam kasus Aceh, Papua, Lampung, Tanjung Priok, Kasus Gerakan Mahasiswa 77-78, 27 Juli, Haur Koneng, Gerakan 30 September, Petrus, Waduk Nipah, Tapol-Napol, »ujar Mahmud Madjid, salah seorang aktivis angkatan 1977-1978 di Bandung (Tempo Interaktif, 31 Januari 2008)

Puluhan mahasiswa di Bali menggelar aksi unjuk rasa menolak usulan pemberian gelar pahlawan bagi almarhum mantan Presiden RI Soeharto. Mereka justru menyebut Soeharto sebagai Bapak Pelanggaran HAM. Mereka juga membagi-bagikan pernyataan yang berisi tuntutan akan kasus korupsi Soeharto terus diusut hingga ke kroni-kroninya. “Tidak ada alasan untuk menghentikan apalagi hanya karena ingin memberi gelar pahlawan,” tegas Hasan yang menjadi Korlap aksi itu. Poster yang dibuat antara lain bertuliskan, “Adili kroni Soeharto”, “Tidak ada Kata Maaf untuk Pelanggar HAM”, dan lain-lain.

Mahasiswa yang berasal dari berbagai organisasi itu menilai, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah bertindak represif dengan mewajibkan pengibaran bendera setengah tiang sebagai tanda duka cita atas meninggalnya Soeharto. Padahal, sepanjang kekuasaannya Soeharto telah menyakiti hati rakyat dengan rangkaian pelanggaran HAM sejak pasca-peristiwa G-30S PKI hingga penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Dalam tuntutannya, mereka meminta Presiden Yudhoyono menuntaskan pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM, menetapkan rezim Orde Baru sebagai rezim pelanggaran HAM, menyatakan Soeharto sebagai penjahat HAM dan mengusut tuntas serta melacak harta hasil korupsi milik Soeharto (Koran Tempo, 30 Januari 2008).

Penolakan pemberian gelar kepada mendiang Soeharto juga diungkapkan Mahasiwa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang iyang mengatakan bahwa « tidak ada gunanya pemerintah memberikan gelar pahlawan kepada penguasa yang otoriter seperti Soeharto. Apalagi, masyarakat saat ini masih terbebani akibat kebijakan-kebijakan Soeharto yang menjerumuskan. "Gimana disebut sebagai pahlawan kalau ia menjerumuskan bangsa ini ke jurang kemiskinan," katanya. (Koran Tempo, 30 Januari 2008).
Sakiti Hati Rakyat

Sejumlah kalangan menilai mantan Presiden Soeharto tidak layak diberi gelar pahlawan. Pasalnya, sampai ia meninggal dunia, statusnya masih sebagai terdakwa kasus korupsi.

Selain itu, begitu banyak orang yang dibunuh dan dipenjara tanpa melalui proses hukum pada masa pemerintahan Soeharto. "Kalau ia diberi gelar pahlawan, justru menyakiti hati rakyat, terutama para keluarga korban kekejaman di masa pemerintahannya," kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid di Jakarta.

Selain itu, kata Usman, sangat ironis kalau Soeharto diberi gelar pahlawan karena sejumlah mahasiswa yang tewas ditembak "anak buah" Soeharto pada 1998 karena menuntut dia mundur telah diberi gelar pahlawan reformasi. Sedangkan di sisi lain, Soeharto yang diduga kuat sebagai dalang peristiwa itu juga akan diberi gelar pahlawan.

Senada dengan itu, Koordinator Tim Advokasi dan Rehabilitasi Korban Tragedi 1965 Witaryono Reksoprodjo mengatakan kalau Soeharto diberi gelar pahlawan, selain menyakiti rakyat Indonesia, juga memalukan bangsa dan negara. Pasalnya, di mata dunia internasional Soeharto adalah mantan kepala negara yang mencuri harta negaranya paling tinggi dibanding kepala negara lain yang juga korup. Selain itu, ketika Soeharto meninggal dunia media massa asing memberitakan Soeharto sebagai seorang mantan diktator yang kejam. "Sudahlah. Ia tidal layak diberi gelar pahlawan," kata dia.

John Pakasi, salah satu korban pelanggaran HAM berat 1965, mengatakan Soeharto adalah diktator yang kejam, bahkan lebih kejam dari Hitler. "Mana bisa orang seperti dia diberi gelar pahlawan?" ujar pria yang dipenjara selama 9 tahun tanpa melalui proses hukum oleh Soeharto dengan alasan terlibat PKI.

Sehari setelah mantan Presiden Soeharto dimakamkan, sejumlah warga kota Solo dan sekitarnya yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Kesejahteraan Rakyat mendatangi Kantor Kejaksaan
Negeri Solo. Mereka menolak masa berkabung nasional dan pengibaran bendera setengah tiang.Aliansi Masyarakat untuk Kesejahteraan Rakyat (Amuk Rakyat)—yang terdiri atas aktivis beberapa badan eksekutif mahasiswa (BEM) dari sejumlah perguruan tinggi dan aktivis lembaga swadaya masyarakat—juga mendesak kroni-kroni Soeharto yang terkait dengan pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) dan kasus korupsi segera diadili.

Para aktivis yang dipimpin Winarso, menemui Kepala Kejaksaan Negeri Solo Momock Bambang Soemiarso. Dalam pertemuan itu, Winarso menyerahkan pernyataan sikap Amuk Rakyat yang intinya menolak masa berkabung nasional tujuh hari dan pengibaran bendera setengah tiang. Alasannya, Soeharto tidak pantas mendapatkan penghormatan itu.

"Kasus-kasus Soeharto dan kroni-kroninya sampai saat ini belum jelas penyelesaiannya. Bagi kami, berkabung nasional tujuh hari hanya dikhususkan untuk pahlawan. Soeharto yang penuh dengan kasus apakah pantas disebut sebagai pahlawan," tutur Winarso.

Di Yogyakarta, ahli sejarah dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, FX Baskara T Wardaya, mengingatkan agar pemerintah tidak buru-buru memberi gelar pahlawan kepada mantan Presiden Soeharto. Sebab, ketokohan Soeharto masih menyisakan kontroversi, di samping sebagian besar masyarakat dipastikan tidak akan mendukung pemberian gelar.
Menurut Baskara, Soeharto tidak bisa digolongkan dalam kategori pahlawan nasional. Kematiannya bahkan menyisakan ketidakjelasan dalam hal sejarah, terutama menyangkut peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

Selain itu, Soeharto juga dinilai sebagai tokoh yang bertanggung jawab dalam peristiwa gerakan 30 September 1965. Peristiwa itu telah menyebabkan munculnya dua tragedi, yaitu terbunuhnya sejumlah jenderal dan pembantaian rakyat secara massal (Kompas, 30 Januari 2008)

Sejarawan Asvi Marwan Adam mengatakan, untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional ada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi selain masalah prosedural. Sesuai dengan ketentuan, orang yang dianugerahi pahlawan nasional harus berjasa dan tidak memiliki cacat dalam perjuangan. Dari

sisi tersebut, Soeharto tidak memiliki kriteria yang tidak cacat. Saat ini dia masih berstatus tersangka kasus dugaan korupsi di tujuh yayasan dan terindikasi melakukan pelanggaran HAM berat. Untuk kasus korupsi, Soeharto masih berurusan dengan peradilan perdata. Adapun kasus HAM,

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga sedang menindaklanjutinya. "Ini sangat berisiko mengangkat Soeharto sebagai pahlawan. Nanti bisa memalukan. Mengangkat tersangka korupsi dan pelaku indikasi pelangaran HAM berat akan merepotkan. Apalagi untuk mencabutnya

nanti juga susah," katanya

"Itu sangat berisiko tinggi. Sebab, misalkan gelar pahlawan sudah diberikan kepada Soeharto dan ternyata dia kemudian dinyatakan sebagai koruptor atau juga pelanggar HAM berat. Tentu pemerintah yang akan repot. Itu juga akan menjadi aib bangsa Indonesia. Masa gelar itu akan dicopot. Padahal, dalam sejarah, belum pernah ada gelar pahlawan dicopot," ujar Asvi di Jakarta,

Soeharto bukan pahlawan

Yayasan LBH Indonesia, yang diketuai oleh Patra M. Zen juga mengeluarkan pernyataan yang berisi sikap politik mengenai gelar pahlawan untuk Suharto ini, yang nada dan isinya sangat tajam. Dalam pernyataan tersebut dikatakan :

Berita kematian Soeharto pada 27 Januari 2008 menghiasi media massa nasional dan internasional. Beberapa media massa menampilkan dengan sangat berlebihan. Berlebihan, dalam arti mengajak pemirsa mengenang kembali 'jasa-jasa' penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu. Tayangan tersebut
berusaha menyeret simpati publik terhadap sosok Soeharto.

Sikap politik dan 'keberpihakan' terhadap Soeharto juga ditunjukkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Melalui Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa, pemerintah meminta rakyat Indonesia mengibarkan bendera merah-putih setengah tiang sebagai tanda berkabung selama tujuh hari berturut-turut. Sikap politik pemerintah terhadap Soeharto juga ditunjukkan dengan wacana berupa penyematan gelar pahlawan buat Soeharto.

Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) menilai sikap dan proses politik yang mengiringi kematian Soeharto yang ditunjukkan oleh pemerintah begitu gegabah dan berlebihan. Pasalnya, kita tahu, pada kematiannya di usia 86 tahun tersebut, Soeharto meninggal tanpa pernah diadili atas perbuatan-perbuatannya..

Kita patut mengerti, bahwa, Soeharto berpulang dalam kondisinya berlumuran darah atas perbuatan masa lalu di masa Orde Baru. Kasus pembantaian orang-orang yang dituduh Partai Komunis Indonesia (PKI) 1965, kasus penembakan misterius (Petrus), kasus Tanjung Priok, kebijakan daerah operasi militer di Aceh dan Papua, adalah contoh lumuran darah masa Soeharto.

Selain itu, perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang dilakukan oleh Soeharto dan keluarga serta kroni-kroninya, juga telah merusak mental bangsa Indonesia, selain memporak-porandakan bangunan ekonomi dan sosial bangsa Indonesia.

Karena itulah, YLBHI bersikap, sangat tidak patut dan layak, pemerintah memberikan predikat pahlawan kepada Soeharto. Ketidaklayakan itu didasarkan pada alasan bahwa secara hukum, Soeharto tidak bisa dikatakan bersalah maupun tidak bersalah, karena proses hukum atas perbuatannya tidak selesai. Demikian pernyataan YLBHI.
Tiada ma’af bagi Suharto

Kemarahan juga telah dilontarkan oleh Keluarga Alumni SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, organisasi di bawah pimpinan PRD), yang mengeluarkan pernyataan antara lain sebagai berikut :

“Bagaimana kami dan massa rakyat harus mengeja kata *"maaf"* dan *"mengenang jasa"* untuk orang seperti Soeharto? Mari kita buka kembali rentang panjang sejarah penindasan yang dialami rakyat Indonesia dan semua kekuatan yang berlawan dengannya. Adakah kita lupa bagaimana tanah-tanah rakyat petani direbut paksa demi kepentingan ekonomi para kroni Soeharto, contohnya di Tapos, Cilacap, Badega, Kedungombo, dan banyak lagi? Atau sudah lupakah kita pada pembunuhan aktivis buruh Marsinah dan penindasan terhadap kaum buruh lainnya? Sudah berapa ribu nyawa sekarat akibat digasak bayonet di Tanjung Priok, Lampung, Aceh, Papua, dan Timor Leste? Jutaan orang dijebloskan ke penjara pada tahun 1965 tanpa pengadilan berikut jutaan nyawa tak berdosa

melayang sebagai tumbal kekuasaan ekonomi dan politiknya? Rezim Soeharto, beserta kolaboratornya, dan juga rezim sesudahnya, tak sekalipun berucap * "maaf"* atas kebiadaban ini. Kini kita dibujuk untuk memberi maaf atas rezim yang membunuhi rakyatnya sendiri.

Sekali lagi, mari kita bertanya secara arif, berjasakah jika, Soeharto, yang menurut data Bank Dunia menempati urutan teratas pemimpin politik dunia terkorup yang selama 32 tahun berkuasa, telah berhasil menjarah bumi Indonesia dengan total harta mencapai USD 15-35 miliar. Sementara, dalam

rentang masa penjarahan itu, menghasilkan puluhan juta rakyat miskin dengan pendapatan hanya USD 1 per hari atau sekitar Rp 9.200). Dengan tangan besinya, Suharto tak segan-segannya membantai rakyat sendiri. Memaafkankah kita jika ingat pembantaian tahun 1965, Timor Leste, Aceh, Papua, Jenggawah, pembunuhan Marsinah, peristiwa 27 Juli 1996, dan masih banyak kasus lainnya

yang semuanya diselesaikan dengan pertumpahan darah dibawah kendali Soeharto.

Jelaslah hasil karya Soeharto yang paling nyata adalah pemiskinan rakyat yang luar biasa, penindasaan dan penghisapan terhadap kaum buruh yang juga luar biasa, barisan pengangguran yang tak kalah dahsyatnya, beserta juga kisah sebuah negeri, berikut kekayaan alamnya, dan harga diri rakyatnya yang telah digadai ke tangan kekuatan imperialisme. Soeharto, adalah peletak

dasar kolaborasi dengan para imperialis ini. Demikian antara lain Keluarga Alumni SMID.


Pernyataan Kal. SMID ini senafas dengan isi wawancara di televisi oleh Sukmawati Sukarnoputri yang mengungkap berbagai hal tentang perbedaan yang jauh sekali antara perlakuan terhadap Bung Karno ketika wafat dengan perlakuan terhadap Suharto. Dalam wawancara inilah Sukmawati juga mengeluarkan kata-kata yang tajam dan keras mengenai Suharto, dengan mengatakan bahwa “tiada ma’af Suharto” dan bahwa Suharto adalah pengkhianat (wawancara yang menarik dan penting ini bisa disimak kembali lewat Youtube http://www.youtube.com/watch?v=PXvh_4MdFyw&feature=related)

Dari sedikit bahan-bahan yang disajikan di atas nyatalah - dengan jelas sekali pula - bahwa Suharto memang tidaklah pantas sama sekali disebut sebagai pahlawan nasional. Bahkan, seperti yang sudah dikatakan Sukmawati dengan tegas, ia adalah pengkhianat !!!



Paris 3 Februari 2008
(Tulisan ini juga disajikan dalam website http://kontak.club.fr/index.htm)
Catatan A. Umar Said