Rabu, 06 Februari 2008

Sesudah Suharto meninggal

Sesudah Suharto dikuburkan di Astana Giribangun dengan upacara yang terasa bagi banyak orang berlebih-lebihan, dan sesudah sekitar tiga minggu pers dan televisi menjejali masyarakat dengan berbagai siaran - yang juga dengan cara-cara yang “kebablasan” - mengenai sakitnya dan kemudian mengenai meninggalnya, maka sekarang orang mulai bertanya-tanya apa saja yang akan terjadi selanjutnya. Umpamanya : apa yang akan terjadi dengan berbagai perkara anak-anaknya, bagaimana kelanjutan proses hukum tentang kasus 7 yayasan, apa jadinya dengan kasus laporan PBB dan Bank Dunia tentang harta yang dicurinya, dan apakah kesalahan dan dosa-dosanya bisa dima’afkan rakyat, atau, apakah ia bisa diangkat sebagai “pahlawan nasional” ? Atau, apakah Suharto adalah orang yang perlu atau pantas dihormati karena sudah “berjasa besar”? Atau, lainnya lagi, apakah Suharto seorang “negarawan yang terhormat”?

Bukan hanya itu saja, melainkan masih banyak sekali soal-soal besar dan parah, yang ditinggalkan sebagai warisan Suharto, yang harus dihadapi rakyat dan negara. Jadi, persoalan Suharto tidak habis dengan dikuburkannya di Giribangun, tetapi masih akan mempunyai buntut yang panjang sekali.Sebab, persoalan Suharto adalah persoalan yang besar, serius, dan menyangkut banyak masalah, dan yang kebanyakan menjadi masalah yang sangat kontroversial.

Makin jelas : Orde Baru jilid II

Satu hal yang patut menjadi perhatian kita semua adalah bahwa dengan “hiruk pikuk” selama lebih dari 3 minggu selama ia sakit sampai meninggalnya pada tanggal 27 Januari, para Suhartois dan para pendukung Orde Baru telah membuang kedok mereka dengan terang-terangan menyatakan masih menaruh simpati yang besar dan hormat yang tinggi kepada orang yang selama ini sudah dikutuk atau dihujat oleh banyak orang, baik di Indonesia maupun di kalangan internasional. Dan mereka ini terdiri dari “tokoh-tokoh” penting di bidang eksekutif, legislatif, judikatif, partai-partai politik, kalangan agama, dan militer di negeri kita.

Dari serentetan peristiwa yang berkaitan dengan sakitnya sampai meninggalnya Suharto sudah nampak dengan jelas sekali bahwa pengaruh Orde Baru masih kuat sekali di kalangan “elite” negeri kita, dan bahkan sebagian besar kekuasaan politik (dan media !) ada di tangan para simpatisan Suharto. Fenomena ini, sekali lagi, dan untuk kesekian kalinya, menunjukkan dengan jelas bahwa pada pokoknya, atau pada intinya, pemerintahan di negeri kita dewasa ini, adalah Orde Baru jilid dua. Ini adalah masalah penting (dan serius !) , yang patut jadi pegangan kita dalam membaca situasi dan melakukan berbagai kegiatan demi perbaikan kehidupan bangsa dan negara kita.

Dengan kacamata yang demikian maka kita bisa melihat lebih jernih bagaimanakah sebenarnya pemerintahan SBY-JK, dan bagaimana pulakah Golkar yang merupakan kekuatan politik dominan yang banyak menduduki pos-pos penting dalam bidang eksekutif, legislatif, judikatif ( dan militer !). Dengan kacamata yang begini kita bisa juga melihat bahwa ucapan presiden SBY pada upacara di Giribangun tentang Suharto adalah sepenuhnya bernafaskan Orde Baru ( Kalimatnya : “Kita telah kehilangan putra terbaik bangsa, seorang pejuang setia, prajurit sejati dan seorang negarawan terhormat Dengan jujur dan hati yang bersih, kita patut mengakui begitu banyak jasa yang almarhum berikan kepada bangsa dan negara” – Gatra 28 Januari).

Dengan kalimat SBY yang lain “yang meminta seluruh bangsa Indonesia agar berjiwa besar dan tulus memberikan terimakasih dan penghargaan yang tinggi atas darma bakti Suharto kepada bangsa dan negara, maka nyatalah bahwa seruannya ini (sama dengan yang dilontarkan oleh banyak simpatisan-simpatisan Suharto lainnya, terutama dari kalangan Golkar) adalah bertentangan sama sekali dengan aspirasi rakyat yang menuntut diadilinya Suharto karena dosa-dosanya yang banyak dan besar.

Suharto dan Golkar adalah satu dan senyawa

Dengan kacamata yang demikian itu pulalah kita bisa melihat mengapa Ketua DPR Agung Leksono, yang juga pimpinan utama Golkar juga bicara muluk-muluk tentang Suharto dalam upacara di jalan Cendana, dan mengapa pimpinan fraksi Golkar di DPR berusaha dengan getol mengusulkan supaya Suharto diberi gelar pahlawan nasional. Sebab, Suharto adalah orang penting (ketuanya) dalam Dewan Pembina Golkar, dan selama puluhan tahun menjadi “pemilik” atau “penguasa” Golkar. Dalam kaitan ini maka bisalah kiranya diibaratkan bahwa Suharto adalah Golkar atau bahwa Golkar dan Suharto adalah satu dan senyawa. Atau untuk lebih jelas lagi, yaitu bahwa Suharto dan Golkar dan Orde Baru adalah satu.

Karena masih kuatnya orang-orang Suhartois dalam berbagai bidang pemerintahan itulah maka kita bisa mengerti bahwa tuntutan untuk mengadili Suharto tadinya (sebelum ia meninggal) mendapat begitu banyak halangan, dan sekarang pun masih sulit untuk mengusut perkara 7 yayasannya atau mengembalikan harta yang dicurinya (menurut program PBB dan Bank Dunia StAR Initiative). Malahan, diberitakan bahwa dalam sidang konferensi UNCAC di Bali , delegasi Indonesia-lah yang justru menghalang-halangi dibicarakannya soal korupsi Suharto dalam konferensi itu (Jawapos 29 Januari)

Dari segi ini kita bisa melihat bahwa bagi Golkar (dan pendukung-pendukung Orde Baru lainnya yang terdapat di berbagai kalangan), membela nama baik Suharto adalah sangat penting untuk menjaga kepentingan mereka sendiri, mengingat begitu eratnya hubungan antara Suharto dengan Golkar. Jatuhnya nama Suharto atau rusaknya citranya adalah satu hal yang sama sekali tidak menguntungkan Golkar bahkan ikut juga merusaknya. Oleh karena itu, dengan berbagai cara dan jalan, Golkar dan para Suhartois lainnya berusaha sekuat mungkin supaya Suharto jangan sampai dituntut pengadilan atau dicemarkan namanya.

Gelar “pahlawan nasional” untuk Suharto

Untuk tujuan ini, antara lain, maka diusahakan supaya proses hukum terhadap Suharto dihentikan, atau supaya perkaranya di-deponir, atau dibatalkan, dengan alasan sakit permanen, atau karena usia lanjut, atau dima’afkan kesalahan-kesalahannya karena “mengingat jasa-jasanya”. Dengan tujuan yang searah ini pulalah maka Golkar melontarkan kampanye pembentukan opini umum tentang perlunya Suharto diberi gelar pahlawan nasional. Sebab, kalau gelar pahlawan nasional itu berhasil diraih untuk Suharto, maka akan makin sulitlah usaha untuk menuntut diadilinya dosa-dosa yang begitu banyak telah dibuatnya. Jadi, gelar pahlawan nasional itu bukan hanya menyelamatkan nama baik Suharto saja, melainkan juga juga kepentingan menyelamatkan citra Golkar dan para Suhartois umumnya. Gelar pahlawan nasional kepada Suharto adalah “perisai” atau “payung” bagi Golkar dan para Suhartois lainnya, untuk menyelamatkan diri dari hujatan banyak orang.

Dengan kacamata bahwa pemerintahan dewasa ini adalah Orde Baru jilid dua, maka kita akan bisa melihat bahwa perspektif tentang situasi negara dan bangsa kita di masa datang yang dekat ini sama sekali tidaklah cemerlang. Kerusakan moral dan pembusukan mental di kalangan para pejabat dan kalangan elite, yang sudah berjalan puluhan tahun (!!!) akan diteruskan oleh orang-orang Orde Baru jilid dua ini. Seperti yang bisa sama-sama kita saksikan, apa yang buruk di jaman Orde Baru akan terus berlangsung, dalam bentuk dan cara baru, dan dengan kadar yang baru juga.

Kita sudah sama-sama melihat bahwa banyak soal parah yang diwariskan oleh Orde Baru tidak atau belum bisa diatasi atau dipecahkan, bahkan banyak yang tambah makin parah.Korupsi besar-besaran malahan makin menjadi-jadi (ingat kasus-kasus yang terbaru : kasus pimpinan Bank Indonesia dan anggota-anggota DPR yang tersangkut dengan dana BLBI, kasus mantan Letnan Jenderal dan Menteri Dalamnegeri Hari Sabarno soal pengadaan mobil-mobil pemadam kebakaran). Pengangguran dan kemiskinan masih tetap merupakan sumber penderitaan rakyat banyak. Angka kemiskinan malah meningkat dari 35 juta dalam tahun 2005 menjadi 39 juta dalam tahun 2007 (Tempo Alternatif 31 Januari 2008).

Dengan GOLKAR tidak akan ada perubahan besar

Dengan adanya kekuaaan politik yang pada pokoknya masih dikuasai oleh orang-orang Orde Baru jilid dua sekarang ini, maka tidak banyak yang bisa diharapkan dari mereka adanya perubahan-perubahan besar dan fondamental untuk perbaikan kehidupan rakyat banyak, terutama rakyat miskin yang jumlahnya puluhan juta keluarga ini. Keadaan yang demikian ini akan tetap berlangsung terus, selama orang-orang Suhartois masih menduduki pos-pos penting di berbagai bidang pemerintahan. Singkatnya, dari para Suhartois sama sekali tidaklah bisa diharapkan adanya perbaikan besar untuk kehidupan rakyat banyak.

Kalau Golkar (dan kalangan Suhartois lainnya) sudah terbukti – dengan jelas pula ! - tidak bisa berbuat banyak untuk perbaikan hidup orang banyak selama 32 tahun Orde Baru ditambah 10 tahun pasca-Suharto, maka tidaklah ada alasan bagi kita semua untuk bisa percaya bahwa dalam masa dekat ini mereka akan bisa berbuat lebih baik lagi dari pada yang sudah-sudah. Malahan sebaliknya, situasi akan makin parah di berbagai bidang. Banyak tanda-tandanya sudah bisa kita baca mulai sekarang.

“Arus balik” perlawanan terhadap Orde Baru jilid II

Karenanya, kita semua patut gembira bahwa sesudah meninggalnya Suharto, maka akhir-akhir ini muncul tanda-tanda tentang adanya “arus balik”, yang berupa perlawanan keras dari banyak kalangan masyarakat terhadap Orde Baru jilid dua. Arus balik perlawanan ini bukan hanya berupa penolakan terhadap seruan para Suhartois untuk mema’afkan algojo pembunuhan besar-besaran terhadap jutaan orang tidak bersalah apa-apa atau pencuri uang rakyat nomor satu di dunia ini, melainkan juga perlawanan politik, yang antara lain berupa penolakan untuk mengibarkan bendera setengah tiang, atau penampikan usul untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepadanya.

Yang lebih menggembirakan lagi adalah kenyataan bahwa “arus balik perlawanan” terhadap Orde Baru jilid dua ini lahir dari berbagai kalangan yang luas sekali, dan bukan lagi hanya terdiri dari para korban Orde Baru saja atau golongan “kiri” lainnya, melainkan juga terdiri dari kalangan-kalangan lainnya dalam masyarakat. Mereka telah membentuk berbagai macam organisasi front bersama, ada yang dinamakan Aliansi Rakyat Mengadili Suharto, ada yang dengan nama Kesatuan Rakyat Adili Suharto (KERAS). Ada yang di Solo .menamakan dirinya AMUK RAKYAT (Aliansi Rakyat untuk Kesejahteraan Rakyat)

Dalam berbagai organisasi front luas ini ambil bagian bermacam-macam organisasi, yang terdiri dari kaum intelektual, seniman, ahli hukum, buruh, tani, perempuan, rakyat miskin dll. Yang paling menggembirakan ialah adanya kegiatan atau aksi-aksi yang banyak dilakukan oleh generasi muda, yang terdiri dari kalangan mahasiswa atau kalangan pemuda lainnya.

Di Bali dalam demo yang diadakan oleh berbagai organisasi mahasiswa telah dibagi-bagikan pernyataan yang berisi tuntutan supaya kasus korupsi Soeharto terus diusut hingga ke kroni-kroninya. “Tidak ada alasan untuk menghentikan apalagi hanya karena ingin memberi gelar pahlawan,” tegas Hasan yang menjadi Korlap aksi itu. Poster yang dibuat antara lain bertuliskan, “Adili kroni Soeharto”, “Tidak ada Kata Maaf untuk Pelanggar HAM”, dan lain-lain.

Di Semarang para mahasiswa menyatakan menolak keras jika pemerintah memberikan gelar pahlawan kepada mendiang mantan Presiden RI Suharto. Mahasiswa menilai, “Suharto bukanlah sosok pahlawan yang berhasil membawa bangsa ini ke arah yang benar dan mensejahterakan rakyat”

Tampilnya generasi muda adalah menggembirakan

Aksi-aksi yang serupa atau searah jiwanya telah diadakan juga oleh berbagai kalangan (terutama generasi muda) di Jakarta, di Solo, di Jogya, di Medan dll Tampilnya generasi muda dalam banyak aksi-aksi perlawanan terhadap Orde Baru jilid dua dan penolakan terhadap usul-usul untuk pemberian gelar pahlawan kepada Suharto adalah penting, baik untuk dewasa ini maupun untuk masa datang. Masa depan bangsa dan negara kita adalah di tangan mereka, di samping pentingnya peran golongan-golongan lain dalam masyarakat. Kebangkitan generasi muda sekarang ini adalah investasi yang berharga bagi rakyat di kemudian hari. (Harap baca « Kumpulan berita » dalam rubrik Sesudah Suharto meninggal dan Meninggalnya mantan presiden Suharto di website http://kontak.club.fr/index.htm ).Mengingat hal-hal itu semua, maka menjadi makin jelaslah bahwa perjuangan bersama dari seluruh kekuatan demokratis di Indonesia melawan Orde Baru jilid dua menjadi satu dengan perlawanan terhadap usul diberinya gelar pahlawan nasional kepada Suharto, dan perlawanan terhadap perma’afan terhadap segala dosa-dosanya yang besar di bidang HAM dan KKN. Melawan bersama-sama - dengan segala cara dan bentuk - terhadap Orde Baru jilid dua yang masih tetap didominasi oleh kekuatan-kekuatan pro Suharto (baca : terutama Golkar dan sebagian dari militer) adalah satu-satunya jalan untuk menuju tercapainya perubahan-perubahan fondamental bagi kehidupan rakyat banyak, terutama rakyat miskin.

Singkatnya dan jelasnya, akan sama-sama kita saksikan, nantinya, bahwa negara dan bangsa Indonesia akan bisa mengadakan perubahan-perubahan besar hanya kalau para Suhartois (dalam Golkar dan kalangan-kalangan lainnya) sudah dapat disingkirkan dari kekuasaan politik. Hanya kekuasaan politik di tangan kekuatan-kekuatan demokratis yang benar-benar pro-rakyatlah yang akan bisa menciptakan perubahan-perubahan besar di Indonesia, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman berbagai negeri di Amerika Latin dewasa ini..

Paris, 31 Januari 2008
Catatan A. Umar Said
(Tulisan ini juga disajikan dalam website http://kontak.club.fr/index.htm)

Tidak ada komentar: